Tuesday, September 29, 2009

Komunikasi dalam Mengajar

Dulu waktu saya jadi murid, guru saya yang banyak bicara sementara saya lebih banyak diam. Sekarang, dalam profesi sebagai pengajar di beberapa kelas pelatihan, mau tidak mau saya juga harus berbicara, terutama pada waktu menjelaskan sebuah konsep.

Rasanya masih segar dalam ingatan saya, sebuah peristiwa di masa SD dulu. Ada murid yang dilabel nakal oleh guru-guru. Begitu terkenal si murid ini akan kenakalannya, sehingga seringkali ia dituduh melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dia lakukan. Murid-murid lain (kalau berani) juga dengan mudah menimpakan kesalahan pada dia. Guru-guru juga sudah memiliki prasangka pada murid tersebut. Dalam berkata-kata kepada murid tersebut, yang terdengar hanya larangan dan bentakan. Hampir tidak ada guru yang berkata manis pada dia. Anak itu akhirnya tinggal kelas.

Entah kenapa saya bersimpati pada murid tersebut. Saya kemudian tahu dia dari keluarga kurang mampu, ayahnya penjual kompor minyak tanah dan ibunya buruh cuci. Secara ekonomi memang tidak memadai karena saudaranya ada 5. Saya lalu ajak dia main ke rumah. Saya pinjami buku-buku yang sudah tidak diperlukan karena saya naik kelas. Dia berjanji akan mengembalikan setelah 1 tahun pelajaran. Saya juga punya beberapa kelebihan buku tulis, yang juga saya serahkan pada dia. Ternyata dia jago main gitar, dan bersedia mengajari saya.

Kami berbicara banyak hal. Sambil dia bernyanyi di pucuk pohon cemara, kadang-kadang saya membantunya memahami pelajaran, sesekali ibu datang membawa gorengan. Wah indah betul persahabatan saat itu. Dan saya menemukan bahwa teman saya ini ternyata mampu menyerap materi pelajaran dengan cepat. Hampir setiap hari kami bertemu. Dia selalu datang naik sepeda, dengan membawa gitar bikinan sendiri dan tas berisi buku pelajaran.

Di akhir tahun pelajaran, dia berhasil naik kelas dan masuk 3 besar. Semua orang termasuk guru-gurunya heran dengan prestasinya ini. Lalu dia benar-benar menepati janjinya mengembalikan buku setelah 1 tahun pelajaran lewat dan berkata bahwa dia senang dengan persahabatan ini. Untuk pertama kalinya menurut dia, ada orang mau berkomunikasi kepada dia secara positif. Tidak melarang, tidak berprasangka, mau menghargai dan menerima pendapat orang. Dan justru dengan cara seperti ini, dia mau mengubah dirinya.

Pada saat mendengar kata-katanya itu, saya sungguh-sungguh terharu dan menyadari sepenuhnya bahwa apa-apa yang kita ucapkan keluarkan dari mulut kita benar-benar seperti pedang bermata dua. Kata-kata kita bisa berakibat menghancurkan seseorang tetapi juga bisa membangun seseorang.

Sungguh sebuah pelajaran berharga yang bisa saya tangkap dan saya ingat-ingat betul sampai sekarang. Dan terbawa pada waktu saya harus mengajar di depan kelas. Ada orang bijak yang bilang bahwa kita bisa berjalan di sebelah kiri jalan atau di sebelah kanan jalan. Tapi kita tidak bisa berjalan di tengah jalan. Demikian pula akibat dari kata-kata kita. Bisa berakibat baik atau buruk terhadap seseorang dan tidak pernah berakibat setengah-setengah.

Kata kita pilihan kita. Kata-kata yang keluar dari mulut kita adalah hasil dari sebuah proses yang tidak sederhana. Dalam menentukan kata apa yang akan dikeluarkan, ada ruang untuk memilih. Jadi kata yang keluar adalah pilihan kita sendiri.

Harus diakui kadang-kadang kita ’memilih untuk menyakiti’ lawan bicara kita. Kita sengaja menggunakan kata-kata yang kita tahu akan meyakiti hatinya, menjatuhkan harga dirinya, dan membuat dia terluka.

Harus diakui pula bahwa menggunakan kata-kata positif untuk tujuan baik bukan hal yang mudah. Jika ada orang berbuat salah atau mendapat hasil yang jelek, kita cenderung menyalahkan dan merendahkan. Pernah seorang teman mengomentari hasil rapor anaknya yang kebetulan jelek : Hey, that’s a silly things for a clever person like you.

Harus diakui pula bahwa kadang-kadang dalam peran sebagai pengajar, seperti ada kekuasaan atau otoritas lebih. Perasaan ini yang menggoda kita untuk mencela peserta didik yang bodoh (dasar tukang bengong kalau di kelas), menggunakan kata-kata yang meneror (masa gitu aja nggak bisaa…!!), mengancam (kalau kelas ini nggak bisa diam, akan dijemur semuanya !), atau menghukum (sekarang tuliskan : Saya memang anak bandel 100 x).

Mengingat dampak dari kata-kata kita sebagai pengajar terhadap anak didik, maka sebaiknya kita betul-betul memilih kata-kata yang tidak akan menghancurkan dia (bodoh, payah, dungu, keterlaluan, nggak pakai otak, dsb), tapi justru mendorong atau memacu dia (ayo kamu pasti bisa, sedikit lagi benar, jangan takut, wah hebat, semangat, dsb).

Bagaimana supaya kita bisa menggunakan kata-kata yang positif dalam mengajar ?

1. Persiapan
Persiapkan diri Anda sebaik-baiknya. Kuasai materi, kalau sempat latihan sebentar untuk membawakan di rumah.
2. 10 di dahi
Bayangkan Anda melihat angka 10 sebagai simbol kesempurnaan di dahi setiap peserta didik Anda. Ini akan membantu Anda mengubah cara pandang terhadap anak didik menjadi lebih positif, sehingga berakibat pemilihan kata akan lebh baik.
3. Big Me Big You
Tempatkan posisi psikologis Anda sejajar dengan peserta didik. Jangan merasa Anda lebih pandai atau lebih penting dari siapapun di kelas.Datanglah dengan mentalitas bahwa Anda juga ingin belajar. Dengan demikian Anda akan menghormati mereka dan akan memilih kata-kata yang pantas.
4. Dare to Fail
Jangan takut untuk gagal. Lebih penting memaknai proses belajar apa yang ada dari setiap kegagalan. Beri ruang pada murid untuk gagal. Dari sinila mereka akan belajar. Kalau mereka gagal, jangan dicela atau dimarahi. Ajak mereka menemukan dimana kesalahannya dan bagaimana memperbaikinya
5. Rehearse rehearse and rehearse
Usahakan dalam pembicaraan sehari-hari (kepada teman, anak, kolega) menggunakan kata-kata positif. Hindari gosip dan membicarakan orang di belakang dia.

Meskipun berat, mari kita mencoba berkata-kata dengan tujuan yang baik kepada peserta didik kita. Mari memilih kata-kata yang positif. Karena akan baik untuk kita dan baik untuk mereka.

Salam

Tuesday, September 08, 2009

SIKAP TUBUH DALAM KELAS

Beberapa siswa pernah mengeluh pada saya bahwa mereka sering merasa mengantuk di kelas. Sudah cuci mukapun masih tetap mengantuk. Ada juga yang kelihatannya memperhatikan penjelasan guru, menatap wajah guru, tapi setelah selesai pelajaran tidak ingat sedikitpun tentang penjelasan guru. Kenapa hal ini bisa terjadi ? Bagaimana mengatasinya ?

Ada beberapa kemungkinan tentang hal ini. Salah satunya adalah posisi tubuh selama di kelas. Tahukah Anda bahwa antara tubuh dan pikiran ternyata saling berhubungan ? Misalnya saja pada waktu tubuh kita mengambil posisi leyeh-leyeh (seperti putri duyung) maka secara tidak sadar kita mengirim signal ke otak kita untuk istirahat juga. Akibatnya kita akan segera merasa mengantuk dan otak akan shut-down sehingga tidak heran kalau kita pada akhirnya tidak mengerti isi pelajaran yang baru saja disampaikan.
Mengingat adanya mind and body connection inilah maka di dalam kelas-kelas quantum learning, sikap tubuh selama berada di kelas menjadi hal yang betul-betul diperhatikan oleh pengajar maupun siswa. Lalu bagaimana sikap tubuh ideal di dalam kelas ?

Quantum Learning memperkenalkan sebuah cara yang dapat disingkat dengan kata TEGAP (Tegak, Eksplorasi, Gaul dengan guru, Anggukan kepala, Posisi condong).

Tegak
Usahakan posisi tubuh Anda tegak, tidak bersandar pada kursi. Juga kaki tidak diselonjorkan. Dengan mengambil posisi seperti ini, tubuh Anda mengatakan pada otak untuk berjaga (alert), sehingga tidak akan mengantuk.Jika ada meja, letakkan tangan Anda di meja. Wajah menatap kepada pengajar.

Eksplorasi

Salah satu hal yang bisa membuat Anda tetap fokus pada pelajaran adalah dengan mengajukan pertanyaan. Jika ada yang membingungkan dari penjelasan pengajar, silahkan angkat tangan Anda dan minta penjelasan. Beberapa orang bahkan menggunakan teknik bertanya ini untuk menghindari ngantuk karena tidak adanya variasi dari pengajar. Tentu saja Anda tidak disarankan terlalu sering bertanya karena bisa mengganggu jalannya pelajaran.


Gaul dengan guru

Relasi dengan guru tidak hanya dibangun di kelas. Di luar kelas pun Anda dapat menanyakan hal-hal yang belum Anda pahami dari pelajaran yang. Untuk itu murid-murid disarankan untuk mau bergaul dengan guru, dalam arti mau melakukan tanya jawab dengan guru di luar kelas. Hal ini bukan berarti anda cari-muka dari guru. Seringkali guru tidak cukup punya waktu untuk menerangkan secara detail isi dari sebuah pelajaran, karena batasan waktu mengajar di sekolah. Anda bisa mencari kejelasan di lain waktu.


Anggukan kepala
Pada waktu Anda menyimak penjelasan guru, jangan lupa untuk menganggukan kepala sekali-sekali.Hal ini akan membuat guru termotivasi karena mendapat respons yang positif dari anak didiknya. Selain itu dengan melakukan anggukan kepala, Anda juga mengatakan kepada tubuh Anda mengatakan kepada otak Anda bahwa Anda mengerti penjelasan yang diberikan.

Posisi condong
Pada waktu Anda duduk di kursi, setelah badan Anda dalam posisi tegak, maka Anda disarankan untuk membuat badan Anda dalam posisi agak condong ke depan. Jadi tidak sekedar tegak, tapi condong ke arah depan. Hal ini akan membuat tubuh mengirim sinyal ke otak bahwa Anda sedang ingin menyimak penjelasan, dan butuh konsentrasi. Akibatnya otak akan waspada dan membantu Anda untuk menyimak penjelasan guru.

TEGAP sudah diterapkan oleh ribuan murid-murid yang pernah mendapat pengajaran Quantum Learning dan mereka mengatakan memang perbedaannya banyak sekali.
Jika Anda ingin berhasil mempertahankan konsentrasi di kelas, maka teknik TEGAP ini layak untuk dicoba.

Selamat mencoba.

Keuntungan Tuan Rumah

Pernah lihat pertandingan olahraga antara tim tuan rumah melawan tim tandang ?
Saya beberapa kali menyaksikan pertandingan seperti itu. Misalnya waktu pertandingan bulutangkis Thomas Cup di Jakarta antara Indonesia melawan China. Atau pertandingan sepakbola MU di Old Trafford antara MU melawan Chelsea. Entah mengapa, biasanya tim tuan rumah merasa lebih percaya diri dan lebih sering menang di kandang sendiri daripada tim tandang.

Tim tuan rumah umumnya mendapat dukungan yang luar biasa dari penontonnya. Dukungan diperoleh dari sejumlah tradisi-tradisi yang memang dikembangkan. Misalnya dengan nyanyian, suara tepukan, teriakan, dsb. Pemain tim tuan rumah juga lebih mengenali setiap titik di lapangan bertandingnya. Mereka tahu area mana yang jelek, ubin mana yang pecah, rumput mana yang gundul, dsb. Hal ini membuat mereka merasa lebih aman waktu bertanding, apalagi karena bermain di area sendiri.

Jadi secara umum bisa disimpulkan bahwa jika sebuah tim berada di kandangnya sendiri, maka performance mereka umumnya akan lebih baik. Mereka akan lebih percaya diri dan kans untuk menang menjadi lebih besar. Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah Keuntungan Tuan Rumah (Homecourt Advantage).

Dari pengamatan ini, kita bisa menemukan beberapa insight menarik yang bisa kita bawa ke dalam ruang belajar kita. Bayangkan jika peserta didik datang ke kelas kita bertingkah laku seperti tim tandang. Mereka merasa tidak nyaman dengan kelasnya, tidak mendapat dukungan, tidak merasa aman, dsb. Dalam kondisi ini tentu saja performance mereka dalam belajar tidak akan optimal.

Tapi bayangkan jika para peserta didik kita merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Mereka akan bertingkah laku seperti tim tuan rumah. Mereka merasa mendapat dukungan, merasa aman, dan merasa menjadi anggota yang diterima di kelasnya. Dengan kondisi seperti ini, maka mereka akan dapat menampilkan performancenya dalam belajar secara optimal.

Sebagai pengajar, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menciptakan suasana yang bisa membuat para peserta didik merasa di rumahnya sendiri. Dengan demikian, para peserta didik akan memperoleh sejumlah keuntungan dari situasi ini. Beberapa cara yang disarankan dalam quantum teaching misalnya : membangun tradisi-tradisi di kelas untuk membuat peserta merasa diterima di kelasnya (muncul sense of belonging), gunakan kata-kata positif yang mendukung dan tidak menyalahkan peserta didik. Ingat bahwa kesalahan adalah awal dari proses belajar. Selain itu, pengajar juga perlu menciptakan suasana aman (secara fisik dan psikologis) bagi peserta didik, sehingga mereka tidak memiliki kecemasan dalam belajar. Dengan demikian, diharapkan mereka bisa belajar secara optimal.

Bagaimana dengan Anda sendiri. Apa yang akan Anda lakukan untuk menumbuhkan perasaan berada di rumah sendiri bagi para peserta didik Anda ?
(PEL/BH)

Thursday, May 07, 2009

Menguak Ujian Nasional

MENGUAK UJIAN NASIONAL



Akhir-akhir ini banyak orangtua yang mengalami sindrom H2C (Harap Harap Cemas). Mereka menyediakan diri untuk mendampingi anak-anak belajar, ikut berdoa dan sibuk mencari materi belajar untuk anaknya.


Di tempat lain sekelompok orangtua bersama-sama melakukan sembahyang, misa dan kebaktian untuk kelulusan anaknya.


Di sebuah sekolah disiapkan tim sukses agar siswa di sekolah tersebut lebih banyak yang lulus daripada yang tidak. Bahkan dulu pernah ada guru yang diinstruksikan datang pagi-pagi, membuka soal dan mengerjakannya, lalu memberitahukan jawabannya pada murid.

Semua usaha itu semata-mata agar sang buah hati, atau para siswa lulus Ujian Nasional (UN).


Mengapa semua kehebohan ini terjadi ?


Tentu saja semua hal tersebut bisa terjadi karena UN telah ditetapkan menjadi salah satu kriteria kelulusan seseorang dari jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Soal UN dibuat oleh negara, dan belum tentu materi yang dujikan diajarkan di sekolah. Dalam konteks ini coba bayangkan kondisi murid-murid yang bukan di Jawa atau Jakarta. Belum meratanya kualitas pendidikan kita membuat banyak pihak meragukan atau bahkan bersikap negatif terhadap UN.

Namun hal ini sudah tidak bisa diganggu gugat, dan terus dijalankan. Akibatnya memang muncul ekses-ekses negatif, yang menyebalkan dan kadang-kadang lucu. Perilaku itu muncul baik dari orangtua maupun sekolah. Di sekolah selain menyiapkan tim sukses juga terjadi pengatrolan nilai dan berbagai perilaku curang lainnya. Logikanya sederhana. Jika murid yang lulus di sekolah ini sedikit, maka tidak ada orangtua yang mau mendaftarkan murid ke sekolah tersebut dan bisa sekolah bisa ditutup, sehingga para guru kehilangan pekerjaan.


Ada sekolah-sekolah yang berubah fungsi menjadi seperti bimbingan belajar (Bimbel) yang dulu ada untuk menjawab soal masuk perguruan tinggi negeri. Mereka mengajarkan bagaimana menjawab soal secara tepat dan cepat. Entah di masa proses pendidikan kemudian di letakkan.

Buat beberapa orang, hal ini sungguh membingungkan. Berdasarkan undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan Indonesia berbasis kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotor). Sementara di UN yang diujikan jelas materi kognitif. Lalu dalam sebuah wawancara dengan seorang anggota dewan yang mengurusi soal pendidikan di sebuah TV swasta, dikatakan bahwa undang-undang menyatakan bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengelola proses pendidikan secara mandiri (manajemen berbasis sekolah), termasuk pengujian materi hasil pengajarannya. UN jelas tidak sejalan dengan hal ini. Padahal kalau dipikir-pikir, guru sekolah yang bersangkutan lah yang tahu tentang kompetensi anak didiknya serta tahu hal-hal penting mana yang perlu diajarkan kepada muridnya agar kelak ia berhasil. Pertanyaannya adalah apakah hal-hal seperti ini berhasil ditangkap oleh para pembuat soal, yang hasilnya kemudian dijadikan penentu lulus tidaknya siswa.


Tentang Ujian (Tes)


Di bidang psikologi yang berurusan dengan pengukuran, secara mudah tes biasanya memiliki 2 tujuan besar, yaitu untuk melihat penguasaan dan membuat peramalan. Penguasaan maksudnya untuk mengetahui apakah siswa telah memahami materi-materi tertentu, mulai dari teori sampai dengan aplikasinya. Misalnya ujian tentang operasi matematika (tambah, kurang, bagi dan kali).


Sementara peramalan dimaksudkan untuk membuat perkiraan, apakah seseorang akan memiliki kemungkinan berhasil di masa depan, berdasarkan hasil tes dia saat ini. Misalnya orang yang berhasil mengerjakan tes operasi matematika nantinya akan berhasil bekerja sebagai insinyur.

Untuk bisa membuat alat tes yang baik umumnya diperlukan dua hal utama yaitu validitas dan reliabilitas. Valid artinya bahwa alat tes tersebut memang benar-benar mengukur apa yang ingin diukur. Misalnya jika kita ingin mengukur tentang kemampuan matematika seseorang, jangan tercampur dengan pengukuran atas penguasaan fisikanya (yang banyak memanfaatkan dalil-dalil matematika).


Reliabilitas artinya alat ini cukup dapat diandalkan untuk mengukur pada orang-orang yang karakteristiknya relatif mirip dan jika diulang dalam kurun waktu tidak terlalu jauh, masih memberikan hasil yang sama. Bayangkan saja sebuah alat tes yang bisa mengetahui kreativitas seseorang. Hari ini dinyatakan cukup dan seminggu kemudian menjadi sangat kreatif (meskipun bisa terjadi perubahan yang sangat drastis, umumnya hal ini jarang terjadi), maka reliabilitas alat bisa kita ragukan. Atau jika alat tersebut digunakan untuk sekelompok anak di sebuah SMP Negeri X dan hasilnya sangat berbeda dengan anak-anak di SMP lain yang karakterisiknya sangat mirip, maka reliabilitas (terandalan) alat tersebut perlu mendapat perhatian.

Statistik menyediakan metode-metode tertentu untuk mengukur validitas dan reliabilitas sebuah alat tes.


Dengan demikian, jika UN dianggap sebagai sebuah alat tes, apakah dia akan berperan untuk menentukan penguasaan seseorang akan materi tertentu atau justru mengambil peran sebagai peramal keberhasilan siswa di jenjang selanjutnya. Ini perlu dipikirkan juga.


Jika UN dimaksudkan untuk menguji penguasaan materi (apalagi secara nasional), maka materi apa yang diberikan hendaknya sesuai dengan yang diujikan. Akan menjadi sulit apabila pemberi materi dan penguji adalah pihak yang berbeda, dengan standar kualitas yang berbeda-beda pula antar daerah satu dengan daerah yang lain. Benar bahwa ada patokan kurikulum yang berskala nasional, tapi implementasi di lapangan tampaknya tidak bisa dianggap seragam.


Jika UN dimaksudkan untuk membuat peramalan, apakah kita berani mengatakan bahwa siswa yang bagus dalam UN tingkat SD akan berhasil di jenjang SMP nanti. Dan jika UN SMP baik dia akan berhasil di SMA, dan apakah jika SMA baik dia akan berhasil di perguruan tinggi ?

Dan yang terpenting adalah apakah soal-soal itu sudah melalui uji validitas dan reliabilitas sehingga layak menjadi sebuah penentu kriteria lulus tidaknya seorang siswa.


Memposisikan Ulang UN


Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang ada, UN tetap memiliki tujuan yang baik yaitu memacu kualitas lulusan program pendidikan kita. Namun cara pragmatis seperti ini bisa membawa persoalan lain. Akhirnya yang berprestasi baik akan menyingkirkan yang prestasinya kurang baik. Padahal kita sepakat bahwa pendidikan adalah hak setiap orang di negara ini.

Untuk itu mungkin ada baiknya jika kita menentukan dulu kriteria minimal yang perlu dicapai oleh program pendidikan kita, di seluruh Indonesia. Baru dari situ kita bergerak untuk perlahan-lahan meningkatkan kualitas kita. Dalam konteks ini, UN bisa menjadi sebuah alat yang lebih berfungsi untuk mengukur kemajuan dalam dunia pendidikan kita, untuk mengetahui posisi kita secara nasional saat ini ada dimana.


Jadi UN tidak berperan sebagai penentu kriteria kelulusan siswa, namun sebagai bahan masukan bagi departemen terkait untuk mengetahui apa-apa saja yang perlu dilakukan, dan sudah sampai mana kita saat ini. Hasil UN bisa menjadi sumber informasi, mana yang perlu dibenahi. Apakah kurikulum, ataukah kualitas guru atau metode pengajarannya.

Urusan kelulusan silahkan diserahkan saja kepada sekolah masing-masing. Bahkan jika UN dijadikan alat untuk mengukur kemajuan pendidikan kita, bisa juga dimiliki informasi tentang sekolah mana saja yang perlu mendapat perhatian khusus dan mengapa demikian. Apakah soal prasarana, biaya, atau apapun.


Saya membayangkan pada akhirnya, perlahan-lahan kita bisa melihat peningkatan kualitas pendidikan yang makin lama makin baik untuk seluruh manusia Indonesia, sehingga kita bisa berharap tampilnya manusia-manusia Indonesia yang semakin bisa berpikir kelak. Bagaimana dengan Anda ?

Thursday, April 30, 2009

The Dark and The Bright Side of Video Games

Masih terbayang jelas di ingatan saya, kebiasaan bermain games komputer beberapa puluh tahun yang lalu. Namanya Sim City. Dalam permainan itu kita ditantang untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya populasi di sebuah kota dengan cara membuat kota menjadi sangat menarik untuk dihuni. Begitu intensnya saya bermain, sehingga kuliah jadi terbengkalai, badan kurus karena tidak peduli dengan urusan makan, dan agak terisolasi secara sosial. Hal lain yang mendera adalah rasa nyeri di tangan dan siku yang baru hilang setelah tidak main lagi.

Lalu saya mikir-mikir…kalau saya yang waktu itu hitungannya sudah tergolong dewasa aja bisa sangat senang main komputer games seperti itu, apalagi anak-anak ya…banyak orang tua yang mengeluh bahwa anaknya kalau sudah bermain game, tetap bergeming meskipun dipanggil orangtua atau diminta belajar. Tapi ada juga orangtua yang sengaja membelikan peralatan video games portable supaya anak tidak mengganggu kegiatan orangtua yang lagi meeting atau sibuk urusan lainnya. Diberi permainan ini anak akan diam dan tidak akan pergi jauh-jauh sehingga mudah diawasi… (kasihan dech tuh anak).

Ada Apa Dengan Video-games (AADV) ?

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa berbagai jenis permainan khususnya video games sangat disukai oleh kebanyakan anak-anak. Sementara di sisi lain orangtua kerap mengalami kesulitan mengendalikan anak kalau sudah bermain video game Sampai saat ini memang masih ada pro dan kontra terhadap manfaat atau efek dari jenis permainan video games terhadap anak.

Beberapa penemuan terakhir mengisyaratkan bahwa tidak semua video games berakibat negatif karena ada juga juga hal-hal positif dari video games yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan yang menyangkut intelegensi maupun psikologis anak.

Polling yang dilakukan di radio Delta FM beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua merasa video games lebih banyak memberi pengaruh negatif ketimbang manfaat positifnya. Bahkan ada yang curi-curi bermain Championship Manager pada waktu istrinya sedang tidur. Sang ayah mulai bermain sekitar jam 11 malam sampai jam 3 pagi.

Jadi bukan permainannya yang dikhawatirkan, tapi efek kecanduan dari permainannya itu yang membuat banyak orangtua akhirnya bersikap negatif terhadap video games.

Apa efek negatif dari Video Games ?

Ada yang mengatakan bahwa bermain video games secara perlahan-lahan bisa menumpulkan rasa empati pada anak karena dia akan terbiasa melihat bahkan bermain dengan unsur-unsur kekerasan. Akibatnya berbagai kekerasan seperti memukul, menembak atau membunuh akan dianggap hal yang wajar.

Efek negatif lain adalah mengurangi pergaulan sosial anak. Anak jarang bergaul dengan teman-temannya dan lebih suka menyendiri (asosial). Paling jauh mereka akan bermain dengan teman-temannya yang menyukai games yang sama.

Video game merupakan permainan yang sangat interaktif dan pengaruhnya lebih dahsyat dari televisi. Agresi yang ditawarkan pada anak-anak lebih kuat dibandingkan tontonan di TV. Dalam permainan ini anak tidak sekedar melakukan observasi pasif tapi turut berperan aktif dalam menentukan isi permainan. Padahal menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Beberapa permainan tertentu memang diyakini dapat memicu agresi.

Hal negatif lain adalah bahwa prestasi belajar bisa menurun karena berkurangnya waktu untuk belajar dan kelelahan karena terkuras konsentrasinya untuk bermain game. Selain itu frekuensi komunikasi dengan keluarga menjadi berkurang atau terganggu karena anak akan lebih suka berkomunikasi dengan permainannya daripada dengan orang tuanya.

Ih ngeri ah, lalu memang ada manfaat positif dari main video games ?

  • Video games dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan bukan sekedar hiburan, seperti meningkatkan kecerdasan, kreativitas serta kemampuan untuk mengambil keputusan.
  • Sebagai media untuk mengembangkan wawasan anak (seperti permainan yang dilakukan secara interaktif, misal: kalau ada kebakaran apa yang harus ia lakukan)
  • Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan bisa menurunkan stress anak. Di sisi lain diskusi tentang cara bermain video games tertentu bisa membuka peluang untuk mengembangkan keterampilan interpersonal
  • Membangun spirit persaingan, teamwork dan kerja sama ketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
  • Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
  • Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
  • Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
  • Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik à waktu reaksi
  • Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
  • Dapat membuka wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan kemampuan dan juga atensi terhadap objek-objek yang dilihat (atensi visual).

Oleh karena itu, lebih tepat apabila dikatakan bahwa waktu yang dihabiskan dan jenis permainan video game-lah yang dapat berdampak buruk pada anak.

Apa sih daya tarik Video games bagi anak remaja hingga menyebabkan kecanduan?

  • Karena berisi gambar-gambar bergerak yang penuh warna, situasi yang menantang dan kompetitif, tingkat kesulitan yang beragam, serta adanya interaksi online dengan para pemain lain, merupakan beberapa hal yang menjadikan video games menjadi sangat menarik dan menyenangkan, hingga semakin banyak orang menghabiskan banyak uang dan waktu berjam-jam untuk memainkannya.
  • Ada kemungkinan mengulang dari awal dan tetap aman
  • Rasa penasaran ingin melewati limit (perasaan tidak puas)

Apa saja ciri-ciri anak kecanduan video games?

  • Terus menerus memikirkan kegiatan bermain video game, bahkan ketika sedang belajar atau mengerjakan PR, sehingga anak jadi tidak dapat berkonsentrasi dengan apa yang sedang dilakukannya
  • Lamanya waktu bermain video game semakin bertambah. Anak tidak pernah merasa cukup dan puas bermain video game, sehingga jumlah waktu yang dihabiskan semakin meningkat dari hari ke hari
  • Ingin mengurangi atau berhenti bermain video game tapi tidak berhasil
  • Gelisah atau lekas marah ketika dilarang bermain video game.
  • Bermain game untuk melarikan diri dari masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman (seperti rasa takut, khawatir, frustrasi, sedih, rasa bersalah, rasa tidak mampu, tidak berdaya).
  • Setelah kalah, anak tidak berhenti bermain, bahkan penasaran ingin terus bermain dengan harapan mungkin di kesempatan kali ini bisa menang.
  • Berbohong kepada orang tua atau orang lain mengenai penggunaan video game.
  • Tidak peduli melakukan tindakan yang melanggar aturan asalkan bisa bermain video game (tidak peduli terhadap hukuman apapun yang diberikan), misalnya membolos atau mencuri uang demi untuk bermain video game.
  • Lebih memilih bermain video game daripada berkumpul atau berkegiatan bersama keluarga, teman, atau berolahraga
  • Meminta uang kepada orang lain untuk membiayainya bermain video game

Bagaimana cara mengatasi kecanduan game pada anak?

  • Buat kesepakatan sejak awal, misal membatasi waktu anak bermain game sehari-harinya, yaitu maksimal 2 jam per hari
  • Disiplin dan pengawasan orang tua mutlak dilakukan. Cerewet tidak apa-apa.
  • Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak Anda
  • Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan untuk anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang memunyai unsur edukatif, bukan permainan yang memertontonkan adegan kekerasan
  • Sebaiknya tidak menaruh peralatan video game atau komputer di kamar tidur anak.
  • Jika sudah terlanjur kecanduan, ya putuskan saja. Pasti ada gejala sakaw sebentar, tapi setelah itu akan normal. Jadilah konsisten dan tega dalam situsi ini.

Olahraga dan Belajar

Ada beberapa orangtua yang berpendapat bahwa anak yang terlalu banyak gerak itu tidak baik. Ada juga yang mengatakan bahwa kegiatan olahraga sehabis jam sekolah akan membuat anak menjadi letih dan malas belajar. Akibatnya nilai pelajaran sekolahnya akan jelek. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh pemahaman yang belum tepat tentang kaitan olahraga dengan kejiwaan seseorang. Beberapa riset belakangan ini menunjukkan bahwa pepatah Men Sana in Corpore Sano (dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat) ternyata benar adanya. Selain itu juga diketahui bahwa kegiatan olahraga merupakan salah satu media yang bisa digunakan oleh orangtua untuk berkomunikasi dengan anaknya.

Masih ingat olahraga apa yang dulu Anda lakukan bersama teman-teman ? Ada yang berolahraga kasti, basket, sepakbola, badminton, pingpong dan lain-lainnya. Selain olahraga yang sungguh-sungguh, juga ada olahraga yang dikemas menjadi sebuah permainan. Misalnya tak benteng, tak kadal, main karet, galasin, panco, dsb. Masih ingat perasaan yang muncul pada waktu melakukan permainan tadi ? Apakah juga masih terbayang perdebatan yang kita lakukan dengan teman-teman dalam menegakkan aturan permainan ? Masih ingat bagaimana kita belajar memperbaiki kualitas permainan kita sehingga makin mahir ? Ya..dalam olahraga dan permainan pun tetap ada proses pembelajaran.

Secara fisiologis, otak membutuhkan supply darah dan oksigen untuk bekerja optimal. Olahraga (seperti aerobik) membantu memompa darah ke otak sehingga membawa nutrisi dan oksigen yang baik untuk mendukung proses kerja otak. Beberapa orang menyakini bahwa ada hubungan antara pikiran dan tubuh (mind and body connection). Hal ini juga terjadi dalam proses belajar. Dalam metode Quantum Learning dinyatakan bahwa semua proses belajar adalah STATE DEPENDENT (tergantung sikon pada diri seseorang). State seseorang dipengaruhi oleh tiga aspek yaitu : mental, emosional dan fisik. Olahraga bisa mempengaruhi 3 aspek tersebut sehingga mempengaruhi state seseorang dan pada akhirnya mempengaruhi belajarnya.

Apa saja manfaat olahraga?

Charles Hillman, dari Universitas Illinois, AS, membuktikan bahwa ada kaitan antara aktivitas fisik dan kerja otak. Saya jadi teringat seorang teman yang pernah bilang : kalau tubuhmu tidak bergerak, otakmu tidak beranjak (keren yak). Charles menemkan bahwa mereka yang tubuhnya paling sehat punya otak paling bugar.

Penelitian lain menemukan bahwa anak dan remaja yang berolahraga dan belajar dengan baik, memiliki nilai akademis yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukan aktivitas olahraga. Olahraga ternyata dapat meningkatkan daya kerja otak sehingga anak dan remaja menjadi lebih cerdas.

Hasil penelitian beberapa ilmuwan memperlihatkan bahwa orang-orang yang melakukan olahraga secara teratur memperlihatkan adanya pertumbuhan neuron syaraf baru pada otaknya. Sementara pada sel-sel syaraf tua akan membentuk jejaring (web) rapat dan saling terhubung sehingga membuat otak berjalan lebih cepat dan efisien

Olahraga juga ternyata menghalangi munculnya gangguan kognitif seperti: penyakit Alzheimer, Parkinson pada saat usia lanjut nanti.

Kalau melihat banyaknya manfaat seperti ini harusnya kita olahraga ya…tapi ya itu kok rasanya beraaaat banget …. Tapi kalau ada anak mungkin lebih semangat ya…

Sejak kapan anak dapat diperkenalkan kepada olahraga?

Beberapa ahli menyarankan untuk memperkenalkan olahraga pada anak sedini mungkin. Pilih jenis olahraga yang sesuai dengan tingkat usia anak, mulai dari yang individual dan sederhana dulu seperti senam-senam dengan lagu, main tendang bola, memasukkan bola ke keranjang, sampai yang lebih kompleks dan berkelompok badminton, basket, kasti, sepakbola, galasin, bentengan, dsb.

Bagaimana peranan orangtua dalam mengolahragakan anak ?

Agar anak mau berolahraga, pertama-tama buat anak senang berolahraga (mulai dari main tendang-tendangan bola, lihat pertandingan di TV, lihat film atau komik, dsb). Fasilitasi minat olahraga anak, sediakan beragam permainan atau membelikan peralatannya, memasukkan ke klub olahraga dll. Kegiatan ini dapat mengalihkan perhatian anak dari layar tv, bermain play station atau video games.

Penting juga bagi para orangtua untuk meluangkan waktu untuk bermain atau berolahraga bersama anak. Hal ini memang berat karena sebagai orangtua kadang-kadang kita kehabisan waktu dan tenaga karena urusan kantor dan urusan lainnya. Tapi kalau melihat manfaatnya, rasanya olahraga bersama anak cukup layak untuk dilakukan.

Dalam berolahraga bersama anak, ambillah peran sebagai coach (yang selalu memberikan support/semangat), atau penggembira (selalu berpartisipasi) dalam setiap kesempatan. Tidak perlu menghakimi anak atau menyalah-nyalahkan anak. Percayalah bahwa mereka bisa menemukan caranya sendiri yang benar untuk melakukan satu gerakan misalnya.

Dalam mengajari anak berolahraga, gunakan bahasa yang sederhana, jelas dan mudah dimengerti anak. Saya pernah mencoba mengajarkan anak bagaimana melakukan serve pada permainan bulutangkis. Memberi instruksi pada anak ternyata sangat menantang lho….dan kalau tidak sabar anak bisa-bisa menolak untuk belajar permainan ini.

Pastikan bahwa kita memberi penghargaan atas partisipasi dan usaha anak dalam mencoba kegiatan baru. Hal ini penting untuk memupuk motivasinya dalam berolahraga. Menurut saya, unsur motivasi sangat penting dalam berolahraga. Terus terang kalau harus memilih menggerakkan tubuh atau tidur, pasti lebih banyak yang memilih tidur.

Karena tiap anak memang berbeda-beda, orangtua diharapkan tidak melakukan perbandingan antara anak dengan anak lain yang lebih hebat. Ada anak yang mungkin mahir dalam olahraga lari. Ia tidak perlu dibandingkan dengan anak lain yang jago berenang.

Pernah juga saya melihat orangtua yang memaki wasit dalam sebuah pertandingan basket di depan anak-anaknya. Tentunya hal ini bukan menjadi tujuan dari olahraga itu sendiri. Selain pengembangan fisik, olahraga juga perlu mempertimbangkan penanaman nilai pada anak. Salah satunya adalah nilai sprotivitas.

Pernah juga ada anak yang dimarahi habis-habisan oleh orangtuanya setelah dan sepanjang permainan sepakbola. Anak dianggap tidak becus mengoper bola, mencetak gol dan sebagainya. Dalam hati saya bertanya-tanya, sebenarnya apa sih tujuan si Bapak memasukkan anaknya ke klub sepakbola ? Toh ini bukan klub profesional dan mereka masih anak-anak. Anak yang harusnya senang-senang dengan olahraganya malah jadi tertekan.

Wuih mudah-mudahan Anda tidak seperti itu.

Baiklah

Sudah terlalu lama saya duduk menulis nich..

Olahraga dulu ah….

Mariii….

Wednesday, April 15, 2009

Antara Orangtua, Anak dan Buku

Masih ingat buku apa yang paling berkesan untuk Anda ?

Saya masih ingat betapa saya sangat ingin berubah setelah membaca sebuah buku pelajaran (mata pelajaran PKK). Di situ ada seorang tokoh yang seusia dengan saya dan diceritakan sebagai anak yang rajin dan pintar. Bangun pagi, beresin tempat tidur, nyapu halaman, makan, sekolah, belajar, dan seterusnya. Pokoknya perfect banget dech ! Waktu itu saya sangat terinspirasi dan ingin meniru sang tokoh tersebut. Saya lalu mulai dengan berusaha bangun pagi dan selalu membereskan kamar serta menjaga kerapihan barang-barang. Orangtua sampai heran dengan perubahan itu.

Juga masih terbayang jelas di ingatan saya buku komik wayang yang dibelikan oleh orangtua saya. Pengarangnya RA Kosasih. Ceritanya mulai dari silsilah Pandawa sampai Perang Baratayudha, dan diakhiri dengan Pandawa Seda. Bahkan ada lanjutannya yaitu Parikesit. Dengan membaca cerita-cerita di buku itu, saya dan Bapak bisa berdiskusi. Mulai menanyakan senjata-senjata sakti para tokoh, membahas kelakuan para tokoh, sifat, sampai pada aplikasi sederhana dalam kehidupan (tentu saja untuk usia saya). Kalau sudah berbicara wayang, wah bisa panjang dan lama. I really loves wayang !

Sekarang saya menyadari bahwa sebuah buku bisa menjadi jembatan atau sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Dalam posisi saya sebagai orangtua dari 3 anak saat ini, saya sadar betul tanggung jawab yang saya pikul tidaklah ringan. Apa yang saya lakukan terhadap anak saat ini akan menentukan bagaimana anak saya nanti memperlakukan cucu saya. Dan salah satu hal yang sangat saya pentingkan adalah penanaman nilai pada anak. Saya yakin bahwa kalau anak punya nilai yang sudah terinternalisasi dalam dirinya maka dia akan lebih survive nantinya.

Proses internalisasi biasanya dilakukan melalui diskusi, bincang-bincang atau aktivitas komunikasi interpersonal lainnya. Hal ini mau tidak mau membutuhkan sebuah sarana komunikasi. Dan saya kira buku bisa menjadi salah satu sarana atau jembatan untuk anak berkomunikasi dengan orangtuanya. Selain itu masih banyak lagi manfaat yang bisa dipetik dari sebuah buku, khususnya dalam proses tumbuh kembang anak.

Bagaimana buku bisa membantu proses pendampingan anak ?

Melalui buku orangtua dapat mengenalkan aspek-aspek pendidikan atau nilai-nilai tertentu pada anak, seperti: nilai-nilai baik dan jahat, nilai persahabatan, pantang menyerah, dsb. Misalnya dalam cerita Cinderela, kita diajarkan untuk tidak mudah putus asa, tetap punya harapan, dsb. Dalam kisah 5 Sekawan, tergambar dengan jelas soal persahabatan, bagaimana berpikir kreatif dan logis. Buku Laskar Pelangi juga mengedepankan nilai perjuangan, sementara kisah Harry Potter memaparkan nilai kebaikan selalu menang atas kejahatan, dst.

Buku juga bisa menjadi sarana pembentukan karakter anak. Melalui cerita yang dituturkan anak bisa punya model yang akan diteladani. Misal : ingin menjadi seperti Lintang yang gigih dalam berjuang, ingin seperti Senopati Pamungkas yang gagah berani, atau menjadi seperti Yudistira yang bijaksana. Wah macam-macam dech.

Buku bisa menjadi sarana membangun kedekatan emosional atau keakraban antara orangtua dan anak. Saya pernah lihat seorang ayah dengan anaknya cekikikan bareng baca komik Tintin, Asterix atau Smurf. Atau seorang ibu yang bercerita sangat seru dengan anaknya tentang kantong ajaibnya Doraemon. Bahkan ada ibu yang mengaku bahwa anaknya sudah berumur cukup besar, tetapi tetap minta dibacakan buku oleh orangtuanya (didongengkan).

Buku yang dibacakan orangtua (didongengkan) bisa menjadi sarana yang sangat baik untuk melatih daya imajinasi anak. Mulai dari membayangkan wajah tokoh Hagrid, membayangkan indahnya pemandangan puncak gunung di cerita Heidi, bagaimana bentuk rumah dari coklat dan biskuit Hanzel and Gretel…wah seruu banget dech.

Jika kita ingin menjadikan buku sebagai sarana komunikasi dengan anak, apa sih tantangannya ?

Nah ini dia. Ada anak-anak yang tidak tertarik dengan buku dan lebih suka liat televisi atau film. Alasan mereka sederhana. Tinggal duduk, lihat dan dengar sudah terhibur. Buku kadang-kadang harus mikir, konsentrasi, capek dech intinya. Jadi salah satu tantangannya adalah kita harus bersaing dengan media lain, seperti televisi, permainan PS, film DVD, dsb.

Untuk bisa memanfaatkan buku, orangtua mau tidak mau juga harus membaca bukunya. Berarti ini orangtua harus menyediakan waktu untuk membaca (setidak-tidaknya membaca referensinya), atau bisa juga mengandalkan memorinya (kalau dulu sudah pernah baca). Ini adalah tantangan lain yang dihadapi orangtua.

Untuk beberapa orangtua, harga buku tidak murah. Buku yang baik dan laku di pasaran biasanya harganya cukup mahal. Salah satu solusinya adalah mencari di pasar buku bekas atau menunggu waktu diskon tiba. Selain itu buku juga membutuhkan tempat penyimpanan (rak buku) yang juga perlu dipikirkan ketersediaan ruangan dan biayanya.

Kapan usia terbaik memperkenalkan buku ?

Sedini mungkin, usia setahun sudah dapat diperkenalkan buku, bahkan sejak masa kehamilan, ibu dapat mengajak berkomunikasi dengan bercerita kepada bayi yang ada dalam kandungan. Karena kordinasi motorik belum baik, berikan buku dari plastik (yang bisa dibawa mandi), atau buku yang kertasnya tebal sekali. Buku ini akan sulit dirusak oleh anak-anak seusia mereka. Usahakan pilih yang berwarna-warni.

Selain itu yang perlu juga diperhatikan oleh orangtua adalah jenis cerita apa yang akan diperdengarkan kepada anak terkait dengan usianya. Cerita yang kompleks dan panjang, serta mengandung banyak muatan emosi sebaiknya jangan diberikan pada anak-anak yang masih SD.

Pada usia dini (umur setahun hingga tiga tahun) anak-anak sudah dapat menangkap isi sebuah cerita. Pilihlah cerita yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu kompleks, tapi menarik. Sebaiknya banyak gambarnya daripada teks. Misal : si Kancil, Petualangan Dora, dsb. Tentu saja yang harus membacakan isi cerita adalah orangtuanya.

Pada usia antara 3 hingga 6 tahun, anak sudah dapat distimulasi untuk melatih daya khayalnya melalui cerita. Usia ini sangat penuh dengan brbagai imajinasi (mereka kita mereka bisa terbang), dan penuh dengan berbagai kemungkinan tidak terbatas (mereka pikir merek bisa bicara dengan binatang atau bernapas di bawah laut seperti Putri Duyung). Mereka juga sudah mampu mencerna cerita yang agak panjang dengan sedikit muatan emosi. Cerita-cerita karangan Hans Christian Andersen boleh untuk diperkenalkan.

Apabila anak menginjak usia 7 tahun ke atas, orang tua sebaiknya menggalakkan anak untuk membaca sendiri cerita-cerita dalam buku, komik atau majalah kesukaannya. Mereka juga suka mendengarkan cerita masa lalu orangtua atau eyangnya. Remaja boleh baca novel dan buku-buku yang agak kompleks ceritanya, atau buku buku pengembangan pribadi, kesehatan, dsb.

Bagaimana cara menggunakan buku untuk berkomunikasi ?

Pertama-tama harus ditumbuhkan budaya menyukai buku di rumah. Ini penting untuk memulai sebuah kebiasaan bersama yaitu membaca. Kalau budaya ini sudah ada, maka baru buku bisa jadi sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Caranya bisa dengan sediakan buku sebanyak mungkin, saring yang tepat untuk anak, pajang di tempat yang mudah diakses. Tunjukkan bahwa kita juga suka membaca apa saja, kapan saja. Jadikan buku sebagai hadiah ulang tahun. Kabulkan permintaan anak untuk beli buku daripada beli jajanan atau mainan

Setelah itu coba amati buku apa yang sering dibaca oleh anak kita. Pelajari sedikit. Baca buku itu secara mandiri atau waktu anak sedang membaca tanya-tanya pada dia. Dengan demikian kita mencoba membuka jalur komunikasi dengan dia melalui hal yang dia sukai. Hati-hati jangan sampai merusak mood membacanya.

Komunikasi melalui buku juga bisa dilakukan dengan membacakan buku pada anak (yang belum remaja) menjelang tidur. Juga dengan mendiskusikan isi buku pada anak, atau menebak akhir cerita bersama anak. Diskusi bisa tentang kelakuan tokoh, kepandaian si tokoh (misal : dalam kisah misteri da vinci code), sifatnya (baik tapi judes, lemah lembut tapi culas) dsb.

Jadi bagaimana, bersediakah Anda memanfaatkan buku untuk berkomunikasi dengan anak ?

Thursday, April 09, 2009

Remaja adalah ...

Kiriman dari seorang teman (thanks ya CC) tentang anak-anaknya yang mulai remaja. Sudah diadaptasi supaya lebih pas buat kita para orangtua. Baca ya…

Remaja adalah ….

Seseorang yang hanya sanggup menghabiskan waktu 10 menit untuk belajar matematika, tapi mampu bertahan lebih dari 10 jam untuk belajar tentang wajahnya

Seseorang yang bisa main komputer tanpa perlu diajarin, tapi tidak tahu cara merapihkan tempat tidur

Seseorang yang ribut terus dengan urusan berat badan, tapi sarapan pagi dengan coklat silver queen

Seseorang yang lupa buang sampah,tapi tidak pernah lupa nomor telpon temannya

Seseorang yang bisa dengar lagunya Chris Brown, Tpain, Beyonce dari jarak jauh sekali, tapi tidak dengar orangtuanya memanggil dari kamar sebelahnya.

Seseorang yang sangat tahu kapan liburan sekolah dan segala sesuatu yang membuat dia tidak perlu sekolah.

Seseorang yang sangat antusias dan penuh energi untuk main sama teman, tapi sering merasa terlalu lelah untuk belajar dan membereskan kamar.

Seseorang yang sering telat untuk makan, tapi selalu tepat waktu kalau janjian sama pacarnya

Seseorang yang hanya kenal 2 jenis musik : Loud and Very Loud

Tambahan :

Seseorang yang sering lupa dengan PR dan tugas sekolah, tapi bisa ingat syair lagu-lagu yang lagi hits.

Wednesday, April 08, 2009

Celoteh Anak

Ini adalah beberapa penggalan percakapan saya dengan beberapa anak-anak, termasuk di dalamnya anak saya sendiri. Mudah-mudahan anak Anda tidak ikutan dalam percakapan ini. Saya banyak belajar dari percakapan ini. Mudah-mudahan Anda juga.


Ingat : O untuk Orangtua ,dan A untuk Anak.

A : Pa, kenapa aku nggak bisa terbang ?

O : (dengan gaya senyum yakin) Karena kamu nggak punya sayap

Anak diam sebentar…Lalu tanya lagi.

A : Pa, kenapa aku nggak punya sayap ??

O : *&!##%$

O : Nak, coba kamu duduk yang manis. Nanti bisa diberhentiin pak Polisi

A : Mana ? Mana polisinya ? (pertanyaan ini diajukan terus sepanjang Pondok Kelapa ke BSD, sampai akhirnya polisinya ada)

O : Nah itu dia polisinya.

A : Ah aku nggak mau polisi yang pakai baju coklat itu, aku maunya yang bajunya orange

O : *&!##%$

A : lihat ini aku gambar Mama, Papa dan aku (gambar tidak berbentuk jelas)

O : Coba lihat. Lho gambar mu sendiri kok nggak ada kepalanya ?

A : Iya..kepalanya lagi copot…eh kok bisa ngomong ya sekarang ….

O : *&!##%$

A : Papa, kenapa di film-film itu orang kalau mau ML mesti masuk ke bawah selimut ?

O : *&!##%$

A : Pa, aku mau sekolah

O : (mode bangga on) wah bagus sekali nak

A : tapi aku mau sekolah di sekolah yang ada saljunya

O : *&!##%$

A : (Habis berbuat kesalahan) Ma, aku jangan dimarahin ya

O : (masih marah) Kenapa ?!

A : kasihan kan akunya kalau dimarahin terus

O : *&!##%$

A : (lagi buat PR) Pa, apa sih contoh-contoh disiplin di rumah ?

O : membawa piring ke dapur sehabis makan

A : Nggak ah..Papa nggak begitu…yang masukkin mbak

O : *&!##%$

Kalau Anda punya percakapan lain, silahkan tuliskan ya
Ini akan sangat menghibur

Bener dech

Memonitor Anak Yuk !

Ini kisah tentang seorang anak yang namanya sebut saja Martin. Duduk di kelas 2 SMP dan tergolong murid yang prestasi akademiknya sedang-sedang saja. Kedua orangtua Martin sibuk luar biasa. Keluarga ini tinggal di pinggiran kota Jakarta. Hal ini membuat kedua orangtua Martin harus berangkat pagi-pagi benar untuk tiba di kantor tepat waktu dan sampai rumah cukup larut karena harus menempuh macet berjam-jam di Jakarta.

Kondisi ini membuat mereka tidak dapat mendampingi anak secara maksimal. Akhirnya memang Martin kadang merasa seperti berjuang sendirian. Menggeluti persoalannya dengan pelajaran, relasinya dengan teman, bahkan dengan perkembangan emosinya. Masih untung Martin anak yang baik dan bisa dinasehati. Sehingga tidak berkembang menjadi persoalan yang parah. Namun orangtuanya berkeyakinan jika mereka dapat mendampingi, Martin akan berkembang secara lebih baik.

Dengan tidak bermaksud menghakimi, beberapa di antara kita pasti sangat familiar pada kisah di atas. Mungkin kita sendiri adalah pelakunya. Mungkin kita pernah lihat juga teman, adik, kaka, atau saudara sendiri kita yang mengalami hal itu. Harus diakui menjadi orangtua jaman sekarang memang tidak mudah (sebenarnya sejak jaman dulu juga nggak mudah ya..). Tuntutan ekonomi yang tinggi (biaya makan, sekolah, transportasi, dsb) membuat mau tidak mau kedua orangtua harus bekerja. Lokasi perumahan yang makin ke pinggir kota membuat waktu tempuh untuk tiba di kantor menjadi lama. Belum lagi stamina yang habis untuk menerjang kemacetan. Tuntutan di pekerjaan juga semakin tinggi. Seluruh kompetensi dicurahkan untuk menghasilkan kinerja terbaik. Dan layaknya orangtua manapun, mereka tetap menginginkan anaknya menjadi yang terbaik. Mungkinkah kita penuhi semua tuntutan itu ?

Mari kita coba menempatkan diri pada posisi anak-anak kita. Ada beberapa di antara anak kita mengalami tekanan dari kelompok mainnya di sekolah atau di rumah untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai. Anak-anak sekarang juga sangat terekspos dengan berbagai godaan di televisi (iklan konsumsi, tayangan aneh-aneh,, dsb). Belum lagi kalau kita bicara godaan di internet. Wah nggak gampang lho jadi anak sekarang.

Dengan semua kondisi ini, maka banyak orangtua yang memutuskan (dengan terpaksa saya kira) untuk melakukan monitoring dari jarak jauh terhadap anak. Monitoring dianggap salah satu solusi terbaik, meskipun juga bukan urusan yang mudah. Ada yang berhasil, ada juga yang tetap berjuang.

Sebenarnya apa sih monitoring itu ?
Ada yang mengatakan bahwa monitoring means establishing firm guidelines and limits for your child to keep track of what is going on in their social world. Kalau kita memperhatikan kata establishing ini, maka jelas bahwa untuk membangun hasil monitoring yang baik dibutuhkan banyak investasi (waktu, tenaga, emosi, dsb). Ini jelas bukan sebuah proses yang instant.

Kapan saat yang tepat untuk melakukan monitoring ?
Upayakan untuk membangun komunikasi sejak dini. Proses monitoring sebenarnya melibatkan banyak aktivitas komunikasi interpersonal. Misalnya bagaimana kita bisa mendapat informasi tentang anak kita, tanpa anak merasa diinterogasi. Ini membutuhkan proses yang panjang untuk bisa sampai pada sebuah kondisi mampu saling memahami cara komunikasi masing-masing pihak. Misalnya : anak tahu kalau ibu bertanya dengan nada tertentu, itu bukan marah, tapi memang ingin tahu. Ibu tahu kalau anak menampilkan ekspresi wajah tertentu, maksudnya apa, dsb. Dengan saling memahami hal ini, maka monitoring bisa berjalan lebih mulus.

Apa saja yang perlu dimonitor dari anak ?
Dari wawancara dengan beberapa orang tua, dikemukakan ada 4 sektor yang biasa diperhatikan oleh para orangtua. Pertama adalah pergaulan sosial. Apa yang dilakukan sepulang dari sekolah bersama teman-temannya, kemana mereka pergi, apa yang dilihat, suka lagu apa, gimana liriknya, suka film apa, dsb. Salah pergaulan bisa membawa risiko besar

Berikutnya adalah urusan belajar si anak. Apakah PR atau project sudah selesai dikerjakan, apakah materi pelajaran sudah dimengerti, apakah ada tugas khusus yang harus disiapkan (misal harus bawa peralatan rotring 0,3 mm, penggaris busur, cairan kimia, dsb), bagaimana aktivitasnya di ekstrakurikuler, bagaimana intrakurikulernya, dsb.

Selanjutnya adalah monitoring terhadap penggunaan internet. Harus diakui bahwa internet memang menyediakan banyak sekali informasi dan tawaran-tawaran yang sangat menggiurkan. Banyak orangtua yang ingin tahu anaknya browsing situs apa saja, apakah anak kita kebanyakan main game on line, chatting dengan siapa dan sebagainya. Hal lain juga menjadi sasaran monitoring orangtua adalah terkait masalah kesehatan anak. Apakah dia cukup makan, cukup tidur, sehat atau tidak, dsb.

Bagaimana cara monitoring ?
Selalu update diri Anda dengan berbagai perkembangan terkini. Jika anak ikutan FB, jangan sampai kita sebagai orangtua justru tidak punya alamat email. Berusahalah menjadi seperti teman dengan anak dalam proses komunikasi anak-orangtua (nada suara, jenis pertanyaan, penyampaian alasan, posisi psikologis, dsb). Berikut ini adalah beberapa tips untuk monitoring pergaulan sosial anak :
o Plan
Sedapat mungkin membicarakan rencana esok hari bersama anak. Tetap fleksibel untuk perubahan, dengan syarat dilaporkan
o Detail
Tanyakan tentang rencana kegiatan anak secara lebih detail (mau kemana, mau ngapain, dengan siapa, kapan jam berapa, kapan akan pulang, dsb). Gunakan prinsip reward and punishment di sini.
o Contact
Lakukan kontak secara wajar dengan anak. Jika kebetulan memberi HP pada anak, buat aturan : dinyalakan di luar jam sekolah, balas segera sms yang masuk dari kita.
o Acknowledge
Kenali siapa saja teman-teman dekatnya, siapa orangtuanya, ajak teman anak main ke rumah (ajak terlibat dalam acara di rumah, dsb). Pengenalan dapat dilakukan jika kita jemput sedikit lebih awal, untuk lihat pergaulan teman-teman anak kita.

Untuk membantu memonitor belajar anak mudah-mudahan tips berikut bisa membantu :
- Biasakan menelpon setiap hari dari kantor untuk ngobrol dgn anak dan menanyakan hal-hal terkait pelajaran
- Buat jadwal bersama yang disepakati anak dan orangtua (jam berapa belajar, jam berapa main, jam berapa tidur, dsb)
- Gunakan pendekatan target dan reward. Misal : hari ini PR Inggris untuk tugas reading assignment harus selesai jam 6.45, setelah itu baru boleh nonton acara ekstravaganza. dengan bintang tamu Mr Bean.
- Koordinasi dengan pengasuh atau siapapun yang ada di rumah, dan minta anak untuk mengikuti petunjuk pengasuh.

Jangan lupa, bahwa sebagai orangtuapun kita perlu juga bersedia untuk dimonitor oleh anak kita. Be there when they need us. Selamat memonitor.

Tuesday, March 31, 2009

Film Sebagai Sarana Untuk Berkomunikasi Dengan Anak

Pada suatu ketika saya sangat ingin menunjukkan suatu film yang berjudul Mama Mia pada istri saya . Kebetulan saya nonton film itu di pesawat, dan menurut saya film itu sangat bagus. Setelah cari kesana kemari, akhirnya saya berhasil meminjam DVD-nya. Namun karena sibuk dengan urusan anak, maka sulit sekali mencari kesempatan untuk nonton bareng. Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tibalah. Suatu siang, ketika anak-anak sedang istirahat tidur, maka kami menonton film tersebut. Tengah asyik nonton, tiba-tiba si sulung terbangun dan ikutan nonton. Tiba-tiba ia bertanya : Pa, kok bisa dia nggak tahu Bapaknya siapa ? Bapaknya tiga ya , kok bisa begitu ?. Aduuh padahal filmnya lagi tanggung banget, tapi pertanyaaan anak saya itu mengingatkan saya bahwa film ini bukan untuk anak-anak. Langsung DVD kami matikan dan coba tanamkan pengertian pada anak.

Di titik ini saya menyadari bahwa film bisa menjadi sebuah titik temu antara orangtua dengan anak. Saya sadar bahwa film bisa menjadi sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai (values) tertentu. Setelah itu terpikir, bagaimana jika film justru kita manfaatkan untuk menjadi sarana komunikasi dengan anak. Bagaimana melalui film kita bisa menanamkan nilai pada anak.

Di kalangan orangtua memang berkembang sejumlah asumsi bahwa media (khususnya film televisi) bisa memberi pengaruh negatif pada anak. Dan terus terang hal ini menimbulkan kebingungan bagi para orangtua. Masa iya anak tidak boleh nonton TV sama sekali, atau apa iya saya harus terus menerus mendampingi anak menonton (kapan kerjanya), rating yang diberikan di TV itu bener nggak sih (katanya semua umur, tapi kok ada adegan sadisnya).

Ada sebuah penelitian yang dilakukan Anwas (2009) bahwa media bisa memberi pengaruh negatif pada anak, tapi bisa juga tidak berpengaruh apa-apa. Dia menemukan bahwa ada anak-anak yang mutu kehidupannya rendah, ternyata sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sementara anak yang berasal dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng atau penangkal dalam menghadapi pengaruh buruk media. Yang dimaksud dengan keluarga harmonis disini adalah keluarga yang memegang teguh nilai, etika dan moral, dimana orangtua benar-benar menjadi panutan anaknya. Rupanya di keluarga ini, nilai yang ditanamkan pada anak akan berfungsi sebagai filter untuk menyikapi berbagai pengaruh negatif. Dengan demikian, proses memaknai pesan (yang diterima dari media) akan melalui saringan-saringan nilai yang telah ada sebelumnya. Mengacu pada hasil riet ini, tampaknya penanaman nilai sejak dini memang menjadi syarat yang sulit untuk ditolak kalau kita ingin membantu anak menangkal pengaruh negatif dari media, khususnya film dan televisi.

Harus diakui bahwa media, khususnya televisi memang telah menjadi semacam orangtua kedua bagi anak. Ada yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama televisi daripada bersama orangtuanya. Tayangan di televisi dan film bisa menjadi sarana mereka untuk berbagi cerita dengan temannya, mencari tahu trend model pakaian, potongan rambut, model sepatu, cara bicara, dan lain-lainnya. Menonton juga bisa menjadi sarana pelepas stres setelah menjalani 'siksaan' di sekolah (uuuh dasar anak-anak). Tontonan juga bisa menjadi sarana untuk pencarian identitas dan pembentukan kepribadian anak. Banyak anak yang terinspirasi ingin menjadi seperti Lintang setelah menonton film Laskar Pelangi. Yang berbahaya adalah anak menonton (TV atau bioskop) karena sudah tidak ada lagi orang yang bisa diajak berkomunikasi (orangtua bekerja, mbak tidur, sibuk, dsb). Di sini tontonan sudah menjadi sarana pelarian (kasihan sekali dikau nak).

Bagaimana kita sebagai orangtua bisa menjadikan film sebagai sarana komunikasi dengan anak ? Pertama-tama jelas kita harus mengetahui film mana yang layak ditonton oleh anak mana yang tidak. Bagaimana caranya ? Paling aman adalah kalau anda sendiri yang duluan menonton filmnya. Tapi mungkin sekali Anda tidak sempat menyaksikan film tersebut. Kalau terjadi seperti ini, orangtua bisa saja membaca resensinya terlebih dahulu. Atau bisa juga referensi dari orang lain, lihat rating guidenya (apakah semua umur, perlu pendampingan orangtua, dsb). Hal ini penting untuk mengetahui apakah film tersebut memuat nilai-nilai yang sesuai dengan apa yang telah kita tanamkan pada anak kita.

Jika Anda memang ingin menjadikan film sebagai sarana untuk membangun komunikasi dengan anak, maka inisatifnya perlu datang dari kita. Jangan sampai anak meminta ijin untuk nonton kepada Anda. Andalah yang mengajak dia nonton. Atau boleh juga dia nonton dengan teman-temannya. Anak yang sudah menjelang dewasa kerap merasa risih pergi nonton bersama orangtuanya. Mereka takut dicela teman-temannya. Kalau Anda tetap mau nonton bareng dia, cobalah juga menjadi sahabat bagi teman anak kita.

Setelah nonton kita bisa mulai membahas film tersebut. Tentu saja diawali dengan pertanyaan yang ringan-ringan seperti : eh menurut kamu yang main tadi ganteng gak, suka nggak dengan filmnya, ceritanya oke nggak ? dan seterusnya. Sampai pada pertanyaan yang agak dalam, personal dan terkait dengan nilai yang mau kita tanamkan. Misalnya saja sehabis nonton film Naruto. Anda bisa bertanya : Nak, menurut kamu untuk jadi ninja yang jago kayak Naruto musti bagaimana ? Nonton X-Men : menurut kamu, apa ya rasanya jadi orang yang berbeda dari orang normal, gimana kalau yang nggak normal itu temen kamu, atau kamu sendiri ?

Tujuan dari diskusi ini adalah untuk memunculkan insight dari anak. Jadi jangan sampai diskusi ini menjadi arena penasehatan oleh orangtua ke anak. Keterampilan untuk mengajukan pertanyaan dan mendengarkan informasi dari anak menjadi hal yang sangat penting di sini.

Film televisi atau bioskop bisa menjadi bahan pembicaraan orangtua dengan anak yang sangat mengasyikkan. Saling berbagi dan bercerita juga bisa memperkuat kedekatan anak dengan ortu. Jadilah sahabat buat anak then u will win their heart.

Salam