Thursday, March 26, 2009

Menyekolahkan Anak Ke Luar Negeri ?

Banyak sekali anak-anak (mungkin juga termasuk anak-anak kita) yang sangat ingin bersekolah ke luar negeri. Jaman saya dulu, kalau bisa nerusin sekolah ke luar negeri berarti keren banget, dan pasti orangtuanya tajir abiz. Tapi ada juga orangtua yang tidak mau menyekolahkan anaknya keluar negeri, dengan berbagai alasan.

Beberapa orang juga bertanya kepada saya, kenapa sih para orangtua sampai berpikir untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri ? Bukannya sekolah ke luar negeri itu mahal ? Pertanyaan ini membawa lagi pada sebuah pertanyaan apakah biaya adalah satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyekolahkan anak ke luar negeri ? Ada faktor lain kah ?

Penasaran dengan hal ini, saya lalu melakukan bincang-bincang dengan beberapa orang tua serta mencari berbagai tulisan yang terkait dengan sekolah ke luar negeri. Dan ini hasilnya.

Dari membaca sebuah sumber (Tempo, 2008) saya baru tahu bahwa untuk urusan mengirimkan pelajar ke luar negeri, tampaknya Indonesia memang ketinggalan. Cina misalnya. Di bawah pimpinan Deng Xiao Ping, setiap tahun mereka membiayai dan mengirimkan 5.000-10.000 mahasiswa untuk belajar di Eropa (di antaranya Inggris), Amerika Serikat, dan Kanada. Malaysia setiap tahun pemerintahnya mengirim 50.000 calon doktor, antara lain ke Inggris dan Amerika Serikat. Bayangkan bahwa Malaysia yang hanya berpenduduk 20.000.000 jiwa itu mengirim sebanyak itu setiap tahunnya. Indonesia dengan jumlah penduduknya 200.000.000 jiwa, rata-rata ada setahun ada 10.000 orang yang melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri, dan sebagian besar dengan biaya sendiri, bukan beasiswa dari pemerintah. Tak mengherankan bila mahasiswa Indonesia yang belajar di AS tak sampai 20 ribu orang per tahun, sedangkan mahasiswa Jepang tercatat 460 ribu orang. setiap tahun pemerintahnya mengirim 50.000 calon doktor, antara lain ke Inggris dan Amerika Serikat. Bayangkan bahwa

Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang lain lagi, ternyata ada sejumlah alasan yang mendasari kenapa mereka mengirim anak-anaknya ke luar negeri. Terus terang saja beberapa di antara mereka berasumsi bahwa kualitas pendidikan di dalam negeri sudah tidak memadai lagi. Mereka khawatir nanti anaknya tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja lain dari berbagai negara.

Ada juga orangtua lain yang mengkhawatirkan tentang situasi sosial politik Indonesia yang dinilai tidak stabil. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran sekolah anak-anak. Jangan sampai di tengah-tengah masa kuliah tiba-tiba berhenti, kasihan si anak.

Alasan lain yang juga dikemukakan adalah karena tidak adanya jurusan-jurusan yang diinginkan. Misalnya ada yang ingin sekolah di jurusan yang sangat spesifik (nano genetika misalnya) dan di Indonesia tidak ada yang membuka jurusan tersebut. Maka mereka akan memilih sekolah ke luar negeri. Meskipun ada orangtua yang mengirimkan anak karena peer pressure (teman-teman orangtua menyekolahkan anak ke luar negeri juga, atau anak-anak temannya ke luar negeri), ternyata pembukaan wawasan juga menjadi suatu pertimbangan untuk mengirim anak sekolah ke luar negeri. “Supaya tidak cupet !” kata beberapa orangtua.

Kemudian hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan anak sekolah ke luar negeri ?

Tentu saja yang pertama adalah biaya pendidikannya. Banyak orang yang cuma mengeluh bahwa biaya pendidikan tinggi, tapi mereka tidak pernah benar-benar berhitung. Sebagai gambaran saja untuk sekolah di S-1 di Australia dibutuhkan dana sekitar 60 jutaan per tahun, sementara di Amerika sebesar paling sedikit 100 juta setahun (Tempo, 2008). Untuk mengatasi masalah biaya pendidikan ini, bisa dilakukan berbagai cara. Misalnya dengan mempersiapkan dana pendidikan, menabung secara rutin setiap bulan, investasi, asuransi pendidikan (untuk menjamin), dsb. Yang jelas, sejak awal perlu ditentukan target yang ingin dicapai berapa. Biaya yang perlu disiapkan bukan hanya dana pendidikan, tapi juga biaya hidup di sana.

Selain biaya, ada hal lain yang juga penting untuk disiapkan, yaitu mental. Mental di sini tidak hanya mental anak, tapi juga mental orangtuanya. Anak harus siap untuk hidup mandiri, lepas dari orangtua dan mbaknya. Beberapa orang yang pernah sekolah di luar negeri bercerita bahwa mereka harus beradaptasi dengan banyak hal, seperti bagaimana memotivasi diri sendiri, bagaimana mengatasi perasaan yang muncul kalau mendapatkan kegagalan pada saat ujian, bagaimana mengatasi home-sick, bagaimana mengatasi tekanan dari teman-teman untuk tidak ikut aktivitas negatif, dsb.

Penguasaan keterampilan praktis sehari-hari juga diperlukan. Misalnya bagaimana menggunakan mesin cuci, microwave, menyiapkan masakan sederhana, bagaimana mengatur jadwal pribadi, bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca, bagaimana menggunakan transportasi umum, pengenalan bahasa lokal setempat, dsb.

Orangtua juga perlu disiapkan. Beberapa orangtua sempat merasa kesepian karena ditinggal anaknya pergi sekolah. Akibatnya mereka sering sekali menelpon anaknya, dan akhirnya anak merasa tidak dipercaya.

Kapan sih saat terbaik untuk mengirimkan seorang anak ke luar negeri ?

Ada yang mengatakan setelah lulus SMA adalah waktu yang pas. Mereka sudah cukup dewasa untuk dilepas, dan lebih mudah untuk latihan mandiri. Tapi ada juga yang mengatakan kalau dikirimnya setelah SMA akan membuang waktu. Soalnya mereka harus ikut masa pembekalan dulu, dsb. Ada yang mengatakan setelah sekolah keluar negeri untuk ambil S2 saja. Sudah lebih established dan bakalan lebih terpakai dalam pekerjaaan.

Yang penting menyekolahkan anak ke luar negeri bukan untuk kepentingan orangtua, namun untuk anak. Sebagai orangtua jika kita ingin mengirimkan anak sekolah ke luar negeri, maka pertanyaannya adalah : are we sending them for the right reason ?

Selamat mempertimbangkan, and enjoy your long week end.