Pada suatu ketika saya sangat ingin menunjukkan suatu film yang berjudul Mama Mia pada istri saya . Kebetulan saya nonton film itu di pesawat, dan menurut saya film itu sangat bagus. Setelah cari kesana kemari, akhirnya saya berhasil meminjam DVD-nya. Namun karena sibuk dengan urusan anak, maka sulit sekali mencari kesempatan untuk nonton bareng. Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tibalah. Suatu siang, ketika anak-anak sedang istirahat tidur, maka kami menonton film tersebut. Tengah asyik nonton, tiba-tiba si sulung terbangun dan ikutan nonton. Tiba-tiba ia bertanya : Pa, kok bisa dia nggak tahu Bapaknya siapa ? Bapaknya tiga ya , kok bisa begitu ?. Aduuh padahal filmnya lagi tanggung banget, tapi pertanyaaan anak saya itu mengingatkan saya bahwa film ini bukan untuk anak-anak. Langsung DVD kami matikan dan coba tanamkan pengertian pada anak.
Di titik ini saya menyadari bahwa film bisa menjadi sebuah titik temu antara orangtua dengan anak. Saya sadar bahwa film bisa menjadi sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai (values) tertentu. Setelah itu terpikir, bagaimana jika film justru kita manfaatkan untuk menjadi sarana komunikasi dengan anak. Bagaimana melalui film kita bisa menanamkan nilai pada anak.
Di kalangan orangtua memang berkembang sejumlah asumsi bahwa media (khususnya film televisi) bisa memberi pengaruh negatif pada anak. Dan terus terang hal ini menimbulkan kebingungan bagi para orangtua. Masa iya anak tidak boleh nonton TV sama sekali, atau apa iya saya harus terus menerus mendampingi anak menonton (kapan kerjanya), rating yang diberikan di TV itu bener nggak sih (katanya semua umur, tapi kok ada adegan sadisnya).
Ada sebuah penelitian yang dilakukan Anwas (2009) bahwa media bisa memberi pengaruh negatif pada anak, tapi bisa juga tidak berpengaruh apa-apa. Dia menemukan bahwa ada anak-anak yang mutu kehidupannya rendah, ternyata sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sementara anak yang berasal dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng atau penangkal dalam menghadapi pengaruh buruk media. Yang dimaksud dengan keluarga harmonis disini adalah keluarga yang memegang teguh nilai, etika dan moral, dimana orangtua benar-benar menjadi panutan anaknya. Rupanya di keluarga ini, nilai yang ditanamkan pada anak akan berfungsi sebagai filter untuk menyikapi berbagai pengaruh negatif. Dengan demikian, proses memaknai pesan (yang diterima dari media) akan melalui saringan-saringan nilai yang telah ada sebelumnya. Mengacu pada hasil riet ini, tampaknya penanaman nilai sejak dini memang menjadi syarat yang sulit untuk ditolak kalau kita ingin membantu anak menangkal pengaruh negatif dari media, khususnya film dan televisi.
Harus diakui bahwa media, khususnya televisi memang telah menjadi semacam orangtua kedua bagi anak. Ada yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama televisi daripada bersama orangtuanya. Tayangan di televisi dan film bisa menjadi sarana mereka untuk berbagi cerita dengan temannya, mencari tahu trend model pakaian, potongan rambut, model sepatu, cara bicara, dan lain-lainnya. Menonton juga bisa menjadi sarana pelepas stres setelah menjalani 'siksaan' di sekolah (uuuh dasar anak-anak). Tontonan juga bisa menjadi sarana untuk pencarian identitas dan pembentukan kepribadian anak. Banyak anak yang terinspirasi ingin menjadi seperti Lintang setelah menonton film Laskar Pelangi. Yang berbahaya adalah anak menonton (TV atau bioskop) karena sudah tidak ada lagi orang yang bisa diajak berkomunikasi (orangtua bekerja, mbak tidur, sibuk, dsb). Di sini tontonan sudah menjadi sarana pelarian (kasihan sekali dikau nak).
Bagaimana kita sebagai orangtua bisa menjadikan film sebagai sarana komunikasi dengan anak ? Pertama-tama jelas kita harus mengetahui film mana yang layak ditonton oleh anak mana yang tidak. Bagaimana caranya ? Paling aman adalah kalau anda sendiri yang duluan menonton filmnya. Tapi mungkin sekali Anda tidak sempat menyaksikan film tersebut. Kalau terjadi seperti ini, orangtua bisa saja membaca resensinya terlebih dahulu. Atau bisa juga referensi dari orang lain, lihat rating guidenya (apakah semua umur, perlu pendampingan orangtua, dsb). Hal ini penting untuk mengetahui apakah film tersebut memuat nilai-nilai yang sesuai dengan apa yang telah kita tanamkan pada anak kita.
Jika Anda memang ingin menjadikan film sebagai sarana untuk membangun komunikasi dengan anak, maka inisatifnya perlu datang dari kita. Jangan sampai anak meminta ijin untuk nonton kepada Anda. Andalah yang mengajak dia nonton. Atau boleh juga dia nonton dengan teman-temannya. Anak yang sudah menjelang dewasa kerap merasa risih pergi nonton bersama orangtuanya. Mereka takut dicela teman-temannya. Kalau Anda tetap mau nonton bareng dia, cobalah juga menjadi sahabat bagi teman anak kita.
Setelah nonton kita bisa mulai membahas film tersebut. Tentu saja diawali dengan pertanyaan yang ringan-ringan seperti : eh menurut kamu yang main tadi ganteng gak, suka nggak dengan filmnya, ceritanya oke nggak ? dan seterusnya. Sampai pada pertanyaan yang agak dalam, personal dan terkait dengan nilai yang mau kita tanamkan. Misalnya saja sehabis nonton film Naruto. Anda bisa bertanya : Nak, menurut kamu untuk jadi ninja yang jago kayak Naruto musti bagaimana ? Nonton X-Men : menurut kamu, apa ya rasanya jadi orang yang berbeda dari orang normal, gimana kalau yang nggak normal itu temen kamu, atau kamu sendiri ?
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk memunculkan insight dari anak. Jadi jangan sampai diskusi ini menjadi arena penasehatan oleh orangtua ke anak. Keterampilan untuk mengajukan pertanyaan dan mendengarkan informasi dari anak menjadi hal yang sangat penting di sini.
Film televisi atau bioskop bisa menjadi bahan pembicaraan orangtua dengan anak yang sangat mengasyikkan. Saling berbagi dan bercerita juga bisa memperkuat kedekatan anak dengan ortu. Jadilah sahabat buat anak then u will win their heart.
Salam
Tuesday, March 31, 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)