Thursday, April 09, 2009

Remaja adalah ...

Kiriman dari seorang teman (thanks ya CC) tentang anak-anaknya yang mulai remaja. Sudah diadaptasi supaya lebih pas buat kita para orangtua. Baca ya…

Remaja adalah ….

Seseorang yang hanya sanggup menghabiskan waktu 10 menit untuk belajar matematika, tapi mampu bertahan lebih dari 10 jam untuk belajar tentang wajahnya

Seseorang yang bisa main komputer tanpa perlu diajarin, tapi tidak tahu cara merapihkan tempat tidur

Seseorang yang ribut terus dengan urusan berat badan, tapi sarapan pagi dengan coklat silver queen

Seseorang yang lupa buang sampah,tapi tidak pernah lupa nomor telpon temannya

Seseorang yang bisa dengar lagunya Chris Brown, Tpain, Beyonce dari jarak jauh sekali, tapi tidak dengar orangtuanya memanggil dari kamar sebelahnya.

Seseorang yang sangat tahu kapan liburan sekolah dan segala sesuatu yang membuat dia tidak perlu sekolah.

Seseorang yang sangat antusias dan penuh energi untuk main sama teman, tapi sering merasa terlalu lelah untuk belajar dan membereskan kamar.

Seseorang yang sering telat untuk makan, tapi selalu tepat waktu kalau janjian sama pacarnya

Seseorang yang hanya kenal 2 jenis musik : Loud and Very Loud

Tambahan :

Seseorang yang sering lupa dengan PR dan tugas sekolah, tapi bisa ingat syair lagu-lagu yang lagi hits.

Wednesday, April 08, 2009

Celoteh Anak

Ini adalah beberapa penggalan percakapan saya dengan beberapa anak-anak, termasuk di dalamnya anak saya sendiri. Mudah-mudahan anak Anda tidak ikutan dalam percakapan ini. Saya banyak belajar dari percakapan ini. Mudah-mudahan Anda juga.


Ingat : O untuk Orangtua ,dan A untuk Anak.

A : Pa, kenapa aku nggak bisa terbang ?

O : (dengan gaya senyum yakin) Karena kamu nggak punya sayap

Anak diam sebentar…Lalu tanya lagi.

A : Pa, kenapa aku nggak punya sayap ??

O : *&!##%$

O : Nak, coba kamu duduk yang manis. Nanti bisa diberhentiin pak Polisi

A : Mana ? Mana polisinya ? (pertanyaan ini diajukan terus sepanjang Pondok Kelapa ke BSD, sampai akhirnya polisinya ada)

O : Nah itu dia polisinya.

A : Ah aku nggak mau polisi yang pakai baju coklat itu, aku maunya yang bajunya orange

O : *&!##%$

A : lihat ini aku gambar Mama, Papa dan aku (gambar tidak berbentuk jelas)

O : Coba lihat. Lho gambar mu sendiri kok nggak ada kepalanya ?

A : Iya..kepalanya lagi copot…eh kok bisa ngomong ya sekarang ….

O : *&!##%$

A : Papa, kenapa di film-film itu orang kalau mau ML mesti masuk ke bawah selimut ?

O : *&!##%$

A : Pa, aku mau sekolah

O : (mode bangga on) wah bagus sekali nak

A : tapi aku mau sekolah di sekolah yang ada saljunya

O : *&!##%$

A : (Habis berbuat kesalahan) Ma, aku jangan dimarahin ya

O : (masih marah) Kenapa ?!

A : kasihan kan akunya kalau dimarahin terus

O : *&!##%$

A : (lagi buat PR) Pa, apa sih contoh-contoh disiplin di rumah ?

O : membawa piring ke dapur sehabis makan

A : Nggak ah..Papa nggak begitu…yang masukkin mbak

O : *&!##%$

Kalau Anda punya percakapan lain, silahkan tuliskan ya
Ini akan sangat menghibur

Bener dech

Memonitor Anak Yuk !

Ini kisah tentang seorang anak yang namanya sebut saja Martin. Duduk di kelas 2 SMP dan tergolong murid yang prestasi akademiknya sedang-sedang saja. Kedua orangtua Martin sibuk luar biasa. Keluarga ini tinggal di pinggiran kota Jakarta. Hal ini membuat kedua orangtua Martin harus berangkat pagi-pagi benar untuk tiba di kantor tepat waktu dan sampai rumah cukup larut karena harus menempuh macet berjam-jam di Jakarta.

Kondisi ini membuat mereka tidak dapat mendampingi anak secara maksimal. Akhirnya memang Martin kadang merasa seperti berjuang sendirian. Menggeluti persoalannya dengan pelajaran, relasinya dengan teman, bahkan dengan perkembangan emosinya. Masih untung Martin anak yang baik dan bisa dinasehati. Sehingga tidak berkembang menjadi persoalan yang parah. Namun orangtuanya berkeyakinan jika mereka dapat mendampingi, Martin akan berkembang secara lebih baik.

Dengan tidak bermaksud menghakimi, beberapa di antara kita pasti sangat familiar pada kisah di atas. Mungkin kita sendiri adalah pelakunya. Mungkin kita pernah lihat juga teman, adik, kaka, atau saudara sendiri kita yang mengalami hal itu. Harus diakui menjadi orangtua jaman sekarang memang tidak mudah (sebenarnya sejak jaman dulu juga nggak mudah ya..). Tuntutan ekonomi yang tinggi (biaya makan, sekolah, transportasi, dsb) membuat mau tidak mau kedua orangtua harus bekerja. Lokasi perumahan yang makin ke pinggir kota membuat waktu tempuh untuk tiba di kantor menjadi lama. Belum lagi stamina yang habis untuk menerjang kemacetan. Tuntutan di pekerjaan juga semakin tinggi. Seluruh kompetensi dicurahkan untuk menghasilkan kinerja terbaik. Dan layaknya orangtua manapun, mereka tetap menginginkan anaknya menjadi yang terbaik. Mungkinkah kita penuhi semua tuntutan itu ?

Mari kita coba menempatkan diri pada posisi anak-anak kita. Ada beberapa di antara anak kita mengalami tekanan dari kelompok mainnya di sekolah atau di rumah untuk melakukan sesuatu yang tidak disukai. Anak-anak sekarang juga sangat terekspos dengan berbagai godaan di televisi (iklan konsumsi, tayangan aneh-aneh,, dsb). Belum lagi kalau kita bicara godaan di internet. Wah nggak gampang lho jadi anak sekarang.

Dengan semua kondisi ini, maka banyak orangtua yang memutuskan (dengan terpaksa saya kira) untuk melakukan monitoring dari jarak jauh terhadap anak. Monitoring dianggap salah satu solusi terbaik, meskipun juga bukan urusan yang mudah. Ada yang berhasil, ada juga yang tetap berjuang.

Sebenarnya apa sih monitoring itu ?
Ada yang mengatakan bahwa monitoring means establishing firm guidelines and limits for your child to keep track of what is going on in their social world. Kalau kita memperhatikan kata establishing ini, maka jelas bahwa untuk membangun hasil monitoring yang baik dibutuhkan banyak investasi (waktu, tenaga, emosi, dsb). Ini jelas bukan sebuah proses yang instant.

Kapan saat yang tepat untuk melakukan monitoring ?
Upayakan untuk membangun komunikasi sejak dini. Proses monitoring sebenarnya melibatkan banyak aktivitas komunikasi interpersonal. Misalnya bagaimana kita bisa mendapat informasi tentang anak kita, tanpa anak merasa diinterogasi. Ini membutuhkan proses yang panjang untuk bisa sampai pada sebuah kondisi mampu saling memahami cara komunikasi masing-masing pihak. Misalnya : anak tahu kalau ibu bertanya dengan nada tertentu, itu bukan marah, tapi memang ingin tahu. Ibu tahu kalau anak menampilkan ekspresi wajah tertentu, maksudnya apa, dsb. Dengan saling memahami hal ini, maka monitoring bisa berjalan lebih mulus.

Apa saja yang perlu dimonitor dari anak ?
Dari wawancara dengan beberapa orang tua, dikemukakan ada 4 sektor yang biasa diperhatikan oleh para orangtua. Pertama adalah pergaulan sosial. Apa yang dilakukan sepulang dari sekolah bersama teman-temannya, kemana mereka pergi, apa yang dilihat, suka lagu apa, gimana liriknya, suka film apa, dsb. Salah pergaulan bisa membawa risiko besar

Berikutnya adalah urusan belajar si anak. Apakah PR atau project sudah selesai dikerjakan, apakah materi pelajaran sudah dimengerti, apakah ada tugas khusus yang harus disiapkan (misal harus bawa peralatan rotring 0,3 mm, penggaris busur, cairan kimia, dsb), bagaimana aktivitasnya di ekstrakurikuler, bagaimana intrakurikulernya, dsb.

Selanjutnya adalah monitoring terhadap penggunaan internet. Harus diakui bahwa internet memang menyediakan banyak sekali informasi dan tawaran-tawaran yang sangat menggiurkan. Banyak orangtua yang ingin tahu anaknya browsing situs apa saja, apakah anak kita kebanyakan main game on line, chatting dengan siapa dan sebagainya. Hal lain juga menjadi sasaran monitoring orangtua adalah terkait masalah kesehatan anak. Apakah dia cukup makan, cukup tidur, sehat atau tidak, dsb.

Bagaimana cara monitoring ?
Selalu update diri Anda dengan berbagai perkembangan terkini. Jika anak ikutan FB, jangan sampai kita sebagai orangtua justru tidak punya alamat email. Berusahalah menjadi seperti teman dengan anak dalam proses komunikasi anak-orangtua (nada suara, jenis pertanyaan, penyampaian alasan, posisi psikologis, dsb). Berikut ini adalah beberapa tips untuk monitoring pergaulan sosial anak :
o Plan
Sedapat mungkin membicarakan rencana esok hari bersama anak. Tetap fleksibel untuk perubahan, dengan syarat dilaporkan
o Detail
Tanyakan tentang rencana kegiatan anak secara lebih detail (mau kemana, mau ngapain, dengan siapa, kapan jam berapa, kapan akan pulang, dsb). Gunakan prinsip reward and punishment di sini.
o Contact
Lakukan kontak secara wajar dengan anak. Jika kebetulan memberi HP pada anak, buat aturan : dinyalakan di luar jam sekolah, balas segera sms yang masuk dari kita.
o Acknowledge
Kenali siapa saja teman-teman dekatnya, siapa orangtuanya, ajak teman anak main ke rumah (ajak terlibat dalam acara di rumah, dsb). Pengenalan dapat dilakukan jika kita jemput sedikit lebih awal, untuk lihat pergaulan teman-teman anak kita.

Untuk membantu memonitor belajar anak mudah-mudahan tips berikut bisa membantu :
- Biasakan menelpon setiap hari dari kantor untuk ngobrol dgn anak dan menanyakan hal-hal terkait pelajaran
- Buat jadwal bersama yang disepakati anak dan orangtua (jam berapa belajar, jam berapa main, jam berapa tidur, dsb)
- Gunakan pendekatan target dan reward. Misal : hari ini PR Inggris untuk tugas reading assignment harus selesai jam 6.45, setelah itu baru boleh nonton acara ekstravaganza. dengan bintang tamu Mr Bean.
- Koordinasi dengan pengasuh atau siapapun yang ada di rumah, dan minta anak untuk mengikuti petunjuk pengasuh.

Jangan lupa, bahwa sebagai orangtuapun kita perlu juga bersedia untuk dimonitor oleh anak kita. Be there when they need us. Selamat memonitor.

Tuesday, March 31, 2009

Film Sebagai Sarana Untuk Berkomunikasi Dengan Anak

Pada suatu ketika saya sangat ingin menunjukkan suatu film yang berjudul Mama Mia pada istri saya . Kebetulan saya nonton film itu di pesawat, dan menurut saya film itu sangat bagus. Setelah cari kesana kemari, akhirnya saya berhasil meminjam DVD-nya. Namun karena sibuk dengan urusan anak, maka sulit sekali mencari kesempatan untuk nonton bareng. Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tibalah. Suatu siang, ketika anak-anak sedang istirahat tidur, maka kami menonton film tersebut. Tengah asyik nonton, tiba-tiba si sulung terbangun dan ikutan nonton. Tiba-tiba ia bertanya : Pa, kok bisa dia nggak tahu Bapaknya siapa ? Bapaknya tiga ya , kok bisa begitu ?. Aduuh padahal filmnya lagi tanggung banget, tapi pertanyaaan anak saya itu mengingatkan saya bahwa film ini bukan untuk anak-anak. Langsung DVD kami matikan dan coba tanamkan pengertian pada anak.

Di titik ini saya menyadari bahwa film bisa menjadi sebuah titik temu antara orangtua dengan anak. Saya sadar bahwa film bisa menjadi sebuah media untuk menanamkan nilai-nilai (values) tertentu. Setelah itu terpikir, bagaimana jika film justru kita manfaatkan untuk menjadi sarana komunikasi dengan anak. Bagaimana melalui film kita bisa menanamkan nilai pada anak.

Di kalangan orangtua memang berkembang sejumlah asumsi bahwa media (khususnya film televisi) bisa memberi pengaruh negatif pada anak. Dan terus terang hal ini menimbulkan kebingungan bagi para orangtua. Masa iya anak tidak boleh nonton TV sama sekali, atau apa iya saya harus terus menerus mendampingi anak menonton (kapan kerjanya), rating yang diberikan di TV itu bener nggak sih (katanya semua umur, tapi kok ada adegan sadisnya).

Ada sebuah penelitian yang dilakukan Anwas (2009) bahwa media bisa memberi pengaruh negatif pada anak, tapi bisa juga tidak berpengaruh apa-apa. Dia menemukan bahwa ada anak-anak yang mutu kehidupannya rendah, ternyata sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sementara anak yang berasal dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng atau penangkal dalam menghadapi pengaruh buruk media. Yang dimaksud dengan keluarga harmonis disini adalah keluarga yang memegang teguh nilai, etika dan moral, dimana orangtua benar-benar menjadi panutan anaknya. Rupanya di keluarga ini, nilai yang ditanamkan pada anak akan berfungsi sebagai filter untuk menyikapi berbagai pengaruh negatif. Dengan demikian, proses memaknai pesan (yang diterima dari media) akan melalui saringan-saringan nilai yang telah ada sebelumnya. Mengacu pada hasil riet ini, tampaknya penanaman nilai sejak dini memang menjadi syarat yang sulit untuk ditolak kalau kita ingin membantu anak menangkal pengaruh negatif dari media, khususnya film dan televisi.

Harus diakui bahwa media, khususnya televisi memang telah menjadi semacam orangtua kedua bagi anak. Ada yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama televisi daripada bersama orangtuanya. Tayangan di televisi dan film bisa menjadi sarana mereka untuk berbagi cerita dengan temannya, mencari tahu trend model pakaian, potongan rambut, model sepatu, cara bicara, dan lain-lainnya. Menonton juga bisa menjadi sarana pelepas stres setelah menjalani 'siksaan' di sekolah (uuuh dasar anak-anak). Tontonan juga bisa menjadi sarana untuk pencarian identitas dan pembentukan kepribadian anak. Banyak anak yang terinspirasi ingin menjadi seperti Lintang setelah menonton film Laskar Pelangi. Yang berbahaya adalah anak menonton (TV atau bioskop) karena sudah tidak ada lagi orang yang bisa diajak berkomunikasi (orangtua bekerja, mbak tidur, sibuk, dsb). Di sini tontonan sudah menjadi sarana pelarian (kasihan sekali dikau nak).

Bagaimana kita sebagai orangtua bisa menjadikan film sebagai sarana komunikasi dengan anak ? Pertama-tama jelas kita harus mengetahui film mana yang layak ditonton oleh anak mana yang tidak. Bagaimana caranya ? Paling aman adalah kalau anda sendiri yang duluan menonton filmnya. Tapi mungkin sekali Anda tidak sempat menyaksikan film tersebut. Kalau terjadi seperti ini, orangtua bisa saja membaca resensinya terlebih dahulu. Atau bisa juga referensi dari orang lain, lihat rating guidenya (apakah semua umur, perlu pendampingan orangtua, dsb). Hal ini penting untuk mengetahui apakah film tersebut memuat nilai-nilai yang sesuai dengan apa yang telah kita tanamkan pada anak kita.

Jika Anda memang ingin menjadikan film sebagai sarana untuk membangun komunikasi dengan anak, maka inisatifnya perlu datang dari kita. Jangan sampai anak meminta ijin untuk nonton kepada Anda. Andalah yang mengajak dia nonton. Atau boleh juga dia nonton dengan teman-temannya. Anak yang sudah menjelang dewasa kerap merasa risih pergi nonton bersama orangtuanya. Mereka takut dicela teman-temannya. Kalau Anda tetap mau nonton bareng dia, cobalah juga menjadi sahabat bagi teman anak kita.

Setelah nonton kita bisa mulai membahas film tersebut. Tentu saja diawali dengan pertanyaan yang ringan-ringan seperti : eh menurut kamu yang main tadi ganteng gak, suka nggak dengan filmnya, ceritanya oke nggak ? dan seterusnya. Sampai pada pertanyaan yang agak dalam, personal dan terkait dengan nilai yang mau kita tanamkan. Misalnya saja sehabis nonton film Naruto. Anda bisa bertanya : Nak, menurut kamu untuk jadi ninja yang jago kayak Naruto musti bagaimana ? Nonton X-Men : menurut kamu, apa ya rasanya jadi orang yang berbeda dari orang normal, gimana kalau yang nggak normal itu temen kamu, atau kamu sendiri ?

Tujuan dari diskusi ini adalah untuk memunculkan insight dari anak. Jadi jangan sampai diskusi ini menjadi arena penasehatan oleh orangtua ke anak. Keterampilan untuk mengajukan pertanyaan dan mendengarkan informasi dari anak menjadi hal yang sangat penting di sini.

Film televisi atau bioskop bisa menjadi bahan pembicaraan orangtua dengan anak yang sangat mengasyikkan. Saling berbagi dan bercerita juga bisa memperkuat kedekatan anak dengan ortu. Jadilah sahabat buat anak then u will win their heart.

Salam


Thursday, March 26, 2009

Menyekolahkan Anak Ke Luar Negeri ?

Banyak sekali anak-anak (mungkin juga termasuk anak-anak kita) yang sangat ingin bersekolah ke luar negeri. Jaman saya dulu, kalau bisa nerusin sekolah ke luar negeri berarti keren banget, dan pasti orangtuanya tajir abiz. Tapi ada juga orangtua yang tidak mau menyekolahkan anaknya keluar negeri, dengan berbagai alasan.

Beberapa orang juga bertanya kepada saya, kenapa sih para orangtua sampai berpikir untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri ? Bukannya sekolah ke luar negeri itu mahal ? Pertanyaan ini membawa lagi pada sebuah pertanyaan apakah biaya adalah satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menyekolahkan anak ke luar negeri ? Ada faktor lain kah ?

Penasaran dengan hal ini, saya lalu melakukan bincang-bincang dengan beberapa orang tua serta mencari berbagai tulisan yang terkait dengan sekolah ke luar negeri. Dan ini hasilnya.

Dari membaca sebuah sumber (Tempo, 2008) saya baru tahu bahwa untuk urusan mengirimkan pelajar ke luar negeri, tampaknya Indonesia memang ketinggalan. Cina misalnya. Di bawah pimpinan Deng Xiao Ping, setiap tahun mereka membiayai dan mengirimkan 5.000-10.000 mahasiswa untuk belajar di Eropa (di antaranya Inggris), Amerika Serikat, dan Kanada. Malaysia setiap tahun pemerintahnya mengirim 50.000 calon doktor, antara lain ke Inggris dan Amerika Serikat. Bayangkan bahwa Malaysia yang hanya berpenduduk 20.000.000 jiwa itu mengirim sebanyak itu setiap tahunnya. Indonesia dengan jumlah penduduknya 200.000.000 jiwa, rata-rata ada setahun ada 10.000 orang yang melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri, dan sebagian besar dengan biaya sendiri, bukan beasiswa dari pemerintah. Tak mengherankan bila mahasiswa Indonesia yang belajar di AS tak sampai 20 ribu orang per tahun, sedangkan mahasiswa Jepang tercatat 460 ribu orang. setiap tahun pemerintahnya mengirim 50.000 calon doktor, antara lain ke Inggris dan Amerika Serikat. Bayangkan bahwa

Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang lain lagi, ternyata ada sejumlah alasan yang mendasari kenapa mereka mengirim anak-anaknya ke luar negeri. Terus terang saja beberapa di antara mereka berasumsi bahwa kualitas pendidikan di dalam negeri sudah tidak memadai lagi. Mereka khawatir nanti anaknya tidak bisa bersaing dengan tenaga kerja lain dari berbagai negara.

Ada juga orangtua lain yang mengkhawatirkan tentang situasi sosial politik Indonesia yang dinilai tidak stabil. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran sekolah anak-anak. Jangan sampai di tengah-tengah masa kuliah tiba-tiba berhenti, kasihan si anak.

Alasan lain yang juga dikemukakan adalah karena tidak adanya jurusan-jurusan yang diinginkan. Misalnya ada yang ingin sekolah di jurusan yang sangat spesifik (nano genetika misalnya) dan di Indonesia tidak ada yang membuka jurusan tersebut. Maka mereka akan memilih sekolah ke luar negeri. Meskipun ada orangtua yang mengirimkan anak karena peer pressure (teman-teman orangtua menyekolahkan anak ke luar negeri juga, atau anak-anak temannya ke luar negeri), ternyata pembukaan wawasan juga menjadi suatu pertimbangan untuk mengirim anak sekolah ke luar negeri. “Supaya tidak cupet !” kata beberapa orangtua.

Kemudian hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan anak sekolah ke luar negeri ?

Tentu saja yang pertama adalah biaya pendidikannya. Banyak orang yang cuma mengeluh bahwa biaya pendidikan tinggi, tapi mereka tidak pernah benar-benar berhitung. Sebagai gambaran saja untuk sekolah di S-1 di Australia dibutuhkan dana sekitar 60 jutaan per tahun, sementara di Amerika sebesar paling sedikit 100 juta setahun (Tempo, 2008). Untuk mengatasi masalah biaya pendidikan ini, bisa dilakukan berbagai cara. Misalnya dengan mempersiapkan dana pendidikan, menabung secara rutin setiap bulan, investasi, asuransi pendidikan (untuk menjamin), dsb. Yang jelas, sejak awal perlu ditentukan target yang ingin dicapai berapa. Biaya yang perlu disiapkan bukan hanya dana pendidikan, tapi juga biaya hidup di sana.

Selain biaya, ada hal lain yang juga penting untuk disiapkan, yaitu mental. Mental di sini tidak hanya mental anak, tapi juga mental orangtuanya. Anak harus siap untuk hidup mandiri, lepas dari orangtua dan mbaknya. Beberapa orang yang pernah sekolah di luar negeri bercerita bahwa mereka harus beradaptasi dengan banyak hal, seperti bagaimana memotivasi diri sendiri, bagaimana mengatasi perasaan yang muncul kalau mendapatkan kegagalan pada saat ujian, bagaimana mengatasi home-sick, bagaimana mengatasi tekanan dari teman-teman untuk tidak ikut aktivitas negatif, dsb.

Penguasaan keterampilan praktis sehari-hari juga diperlukan. Misalnya bagaimana menggunakan mesin cuci, microwave, menyiapkan masakan sederhana, bagaimana mengatur jadwal pribadi, bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca, bagaimana menggunakan transportasi umum, pengenalan bahasa lokal setempat, dsb.

Orangtua juga perlu disiapkan. Beberapa orangtua sempat merasa kesepian karena ditinggal anaknya pergi sekolah. Akibatnya mereka sering sekali menelpon anaknya, dan akhirnya anak merasa tidak dipercaya.

Kapan sih saat terbaik untuk mengirimkan seorang anak ke luar negeri ?

Ada yang mengatakan setelah lulus SMA adalah waktu yang pas. Mereka sudah cukup dewasa untuk dilepas, dan lebih mudah untuk latihan mandiri. Tapi ada juga yang mengatakan kalau dikirimnya setelah SMA akan membuang waktu. Soalnya mereka harus ikut masa pembekalan dulu, dsb. Ada yang mengatakan setelah sekolah keluar negeri untuk ambil S2 saja. Sudah lebih established dan bakalan lebih terpakai dalam pekerjaaan.

Yang penting menyekolahkan anak ke luar negeri bukan untuk kepentingan orangtua, namun untuk anak. Sebagai orangtua jika kita ingin mengirimkan anak sekolah ke luar negeri, maka pertanyaannya adalah : are we sending them for the right reason ?

Selamat mempertimbangkan, and enjoy your long week end.