Thursday, May 07, 2009

Menguak Ujian Nasional

MENGUAK UJIAN NASIONAL



Akhir-akhir ini banyak orangtua yang mengalami sindrom H2C (Harap Harap Cemas). Mereka menyediakan diri untuk mendampingi anak-anak belajar, ikut berdoa dan sibuk mencari materi belajar untuk anaknya.


Di tempat lain sekelompok orangtua bersama-sama melakukan sembahyang, misa dan kebaktian untuk kelulusan anaknya.


Di sebuah sekolah disiapkan tim sukses agar siswa di sekolah tersebut lebih banyak yang lulus daripada yang tidak. Bahkan dulu pernah ada guru yang diinstruksikan datang pagi-pagi, membuka soal dan mengerjakannya, lalu memberitahukan jawabannya pada murid.

Semua usaha itu semata-mata agar sang buah hati, atau para siswa lulus Ujian Nasional (UN).


Mengapa semua kehebohan ini terjadi ?


Tentu saja semua hal tersebut bisa terjadi karena UN telah ditetapkan menjadi salah satu kriteria kelulusan seseorang dari jenjang pendidikan yang sedang dijalaninya. Soal UN dibuat oleh negara, dan belum tentu materi yang dujikan diajarkan di sekolah. Dalam konteks ini coba bayangkan kondisi murid-murid yang bukan di Jawa atau Jakarta. Belum meratanya kualitas pendidikan kita membuat banyak pihak meragukan atau bahkan bersikap negatif terhadap UN.

Namun hal ini sudah tidak bisa diganggu gugat, dan terus dijalankan. Akibatnya memang muncul ekses-ekses negatif, yang menyebalkan dan kadang-kadang lucu. Perilaku itu muncul baik dari orangtua maupun sekolah. Di sekolah selain menyiapkan tim sukses juga terjadi pengatrolan nilai dan berbagai perilaku curang lainnya. Logikanya sederhana. Jika murid yang lulus di sekolah ini sedikit, maka tidak ada orangtua yang mau mendaftarkan murid ke sekolah tersebut dan bisa sekolah bisa ditutup, sehingga para guru kehilangan pekerjaan.


Ada sekolah-sekolah yang berubah fungsi menjadi seperti bimbingan belajar (Bimbel) yang dulu ada untuk menjawab soal masuk perguruan tinggi negeri. Mereka mengajarkan bagaimana menjawab soal secara tepat dan cepat. Entah di masa proses pendidikan kemudian di letakkan.

Buat beberapa orang, hal ini sungguh membingungkan. Berdasarkan undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa pendidikan Indonesia berbasis kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotor). Sementara di UN yang diujikan jelas materi kognitif. Lalu dalam sebuah wawancara dengan seorang anggota dewan yang mengurusi soal pendidikan di sebuah TV swasta, dikatakan bahwa undang-undang menyatakan bahwa sekolah diberi kewenangan untuk mengelola proses pendidikan secara mandiri (manajemen berbasis sekolah), termasuk pengujian materi hasil pengajarannya. UN jelas tidak sejalan dengan hal ini. Padahal kalau dipikir-pikir, guru sekolah yang bersangkutan lah yang tahu tentang kompetensi anak didiknya serta tahu hal-hal penting mana yang perlu diajarkan kepada muridnya agar kelak ia berhasil. Pertanyaannya adalah apakah hal-hal seperti ini berhasil ditangkap oleh para pembuat soal, yang hasilnya kemudian dijadikan penentu lulus tidaknya siswa.


Tentang Ujian (Tes)


Di bidang psikologi yang berurusan dengan pengukuran, secara mudah tes biasanya memiliki 2 tujuan besar, yaitu untuk melihat penguasaan dan membuat peramalan. Penguasaan maksudnya untuk mengetahui apakah siswa telah memahami materi-materi tertentu, mulai dari teori sampai dengan aplikasinya. Misalnya ujian tentang operasi matematika (tambah, kurang, bagi dan kali).


Sementara peramalan dimaksudkan untuk membuat perkiraan, apakah seseorang akan memiliki kemungkinan berhasil di masa depan, berdasarkan hasil tes dia saat ini. Misalnya orang yang berhasil mengerjakan tes operasi matematika nantinya akan berhasil bekerja sebagai insinyur.

Untuk bisa membuat alat tes yang baik umumnya diperlukan dua hal utama yaitu validitas dan reliabilitas. Valid artinya bahwa alat tes tersebut memang benar-benar mengukur apa yang ingin diukur. Misalnya jika kita ingin mengukur tentang kemampuan matematika seseorang, jangan tercampur dengan pengukuran atas penguasaan fisikanya (yang banyak memanfaatkan dalil-dalil matematika).


Reliabilitas artinya alat ini cukup dapat diandalkan untuk mengukur pada orang-orang yang karakteristiknya relatif mirip dan jika diulang dalam kurun waktu tidak terlalu jauh, masih memberikan hasil yang sama. Bayangkan saja sebuah alat tes yang bisa mengetahui kreativitas seseorang. Hari ini dinyatakan cukup dan seminggu kemudian menjadi sangat kreatif (meskipun bisa terjadi perubahan yang sangat drastis, umumnya hal ini jarang terjadi), maka reliabilitas alat bisa kita ragukan. Atau jika alat tersebut digunakan untuk sekelompok anak di sebuah SMP Negeri X dan hasilnya sangat berbeda dengan anak-anak di SMP lain yang karakterisiknya sangat mirip, maka reliabilitas (terandalan) alat tersebut perlu mendapat perhatian.

Statistik menyediakan metode-metode tertentu untuk mengukur validitas dan reliabilitas sebuah alat tes.


Dengan demikian, jika UN dianggap sebagai sebuah alat tes, apakah dia akan berperan untuk menentukan penguasaan seseorang akan materi tertentu atau justru mengambil peran sebagai peramal keberhasilan siswa di jenjang selanjutnya. Ini perlu dipikirkan juga.


Jika UN dimaksudkan untuk menguji penguasaan materi (apalagi secara nasional), maka materi apa yang diberikan hendaknya sesuai dengan yang diujikan. Akan menjadi sulit apabila pemberi materi dan penguji adalah pihak yang berbeda, dengan standar kualitas yang berbeda-beda pula antar daerah satu dengan daerah yang lain. Benar bahwa ada patokan kurikulum yang berskala nasional, tapi implementasi di lapangan tampaknya tidak bisa dianggap seragam.


Jika UN dimaksudkan untuk membuat peramalan, apakah kita berani mengatakan bahwa siswa yang bagus dalam UN tingkat SD akan berhasil di jenjang SMP nanti. Dan jika UN SMP baik dia akan berhasil di SMA, dan apakah jika SMA baik dia akan berhasil di perguruan tinggi ?

Dan yang terpenting adalah apakah soal-soal itu sudah melalui uji validitas dan reliabilitas sehingga layak menjadi sebuah penentu kriteria lulus tidaknya seorang siswa.


Memposisikan Ulang UN


Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang ada, UN tetap memiliki tujuan yang baik yaitu memacu kualitas lulusan program pendidikan kita. Namun cara pragmatis seperti ini bisa membawa persoalan lain. Akhirnya yang berprestasi baik akan menyingkirkan yang prestasinya kurang baik. Padahal kita sepakat bahwa pendidikan adalah hak setiap orang di negara ini.

Untuk itu mungkin ada baiknya jika kita menentukan dulu kriteria minimal yang perlu dicapai oleh program pendidikan kita, di seluruh Indonesia. Baru dari situ kita bergerak untuk perlahan-lahan meningkatkan kualitas kita. Dalam konteks ini, UN bisa menjadi sebuah alat yang lebih berfungsi untuk mengukur kemajuan dalam dunia pendidikan kita, untuk mengetahui posisi kita secara nasional saat ini ada dimana.


Jadi UN tidak berperan sebagai penentu kriteria kelulusan siswa, namun sebagai bahan masukan bagi departemen terkait untuk mengetahui apa-apa saja yang perlu dilakukan, dan sudah sampai mana kita saat ini. Hasil UN bisa menjadi sumber informasi, mana yang perlu dibenahi. Apakah kurikulum, ataukah kualitas guru atau metode pengajarannya.

Urusan kelulusan silahkan diserahkan saja kepada sekolah masing-masing. Bahkan jika UN dijadikan alat untuk mengukur kemajuan pendidikan kita, bisa juga dimiliki informasi tentang sekolah mana saja yang perlu mendapat perhatian khusus dan mengapa demikian. Apakah soal prasarana, biaya, atau apapun.


Saya membayangkan pada akhirnya, perlahan-lahan kita bisa melihat peningkatan kualitas pendidikan yang makin lama makin baik untuk seluruh manusia Indonesia, sehingga kita bisa berharap tampilnya manusia-manusia Indonesia yang semakin bisa berpikir kelak. Bagaimana dengan Anda ?

1 comment:

  1. Menurut gw sih, yang harus dibenahi adalah MENTAL gurunya. karna masih banyak guru yang cuma pengen dihargai dengan gaji yang tinggi, tapi ngajarnya asal2an. di kelas, alih2 mendidik siswa untuk aktif belajar sendiri padahal krn dia malas atau malah ngga bisa ngajar. nanti giliran siswa nilainya jelek, dia cm bisa marah2, bukannya malah mikir, jangan2 dia yg ngajarnya ngga bener...
    apalagi jaman sekarang, sekolah mahal, guru takut sama murid itu hal yang biasa terjadi saat ini, ada sekolah2 yang kl muridnya protes, gurunya bisa dikeluarin. krn mereka mentingin pendapatan dari murid dibandingkan mempertanggungjawabkan pendapatan itu dgn memberikan pengajaran yang benar..

    ReplyDelete